Sosok Pak Soes (Soesilo Toer) memang tak sepopuler Pramoedya Ananta Toer, begitupun karya-karyanya, beberapa adalah catatan tentang Pram.
Ia seolah terbayangi oleh nama besar sang kakak, tenggelam dalam telaga narasi tentang Pram, banyak yang menduga dia terkenal karena menjadi adiknya Pram.
Ia diburu, dicari banyak orang yang ingin tahu tentang Pram, begitupun ketika menghadiri acara-acara ke berbagai daerah, ia dianggap salah satu yang paling referensial membincang sosok Pram.
Padahal, Pak Soes punya legendanya tersendiri, mungkin bukan lewat teks, sebagai realitas ia sangat menarik untuk dikulik.
Salah satu yang fenomenal adalah penafsirannya tentang pemulung. Ia menyebutnya rektor (ngorek-ngorek barang kotor).
Saban malam ia keliling memungut sampah di sekitar Blora, aneka jenis sampah ia temukan.
Sampah itu kemudian dipilah, sebagian punya nilai jual seperti kardus dan plastik bekas untuk didaur ulang.
Pembeli akan mendatangi rumahnya dan membawa sampah yang mereka perlukan keesokan harinya.
Di dalam tumpukan sampah itu, kadang ia menemukan sendok, garpu, hingga cincin. Konon benda-benda itu ia koleksi dan suatu saat akan dibuat pameran khusus.
Pak Soes menyebut memulung adalah kenikmatan abadi, ada heroisme tersendiri ketika bisa "menyelamatkan" kota dari tumpukan sampah. Pemulung adalah penyelamat dunia.
Itulah definisi kerja, katanya, yaitu mengubah barang tak berguna mempunya nilai tambah.
Memulung punya nilai ekonomi yang absolut, berbeda dengan buruh yang bergantung majikan, atau petani yang bergantung hama dan cuaca.
Memulung adalah kebebasan, menjadi pemulung tak perlu menulis surat lamaran kerja. Itulah sebagian isi kepala Pak Soes yang revolusioner.
Sederet gelar akademik yang ia sandang tak membuatnya malu untuk memulung.
Ia memulung dengan penuh penghayatan, tak peduli apapun anggapan orang, ia menyebut diri sebagai hedonis; melakukan suatu hal untuk kesenangan dirinya.
Pak Soes juga lah yang "menyelamatkan" rumah masa kecil keluarga mereka di Jetis, Blora.
Rumah itu kini jadi taman baca, kantor penerbitan, dan destinasi sejarah informal. Buku-buku dibiarkan berserakan, tanpa katalog dan arsiparis.
Siapapun berkunjung ke rumah tersebut dengan penampakan apa adanya, termasuk kambing dan ayam yang bebas berkeliaran di sekitar rumah dan kebun.
Pak Soes menerima banyak tamu untuk beragam kepentingan. Ia seorang dengan wawasan luas dan ingatan tajam nan humoris.
Sisi erotisme adalah aspek humor yang kerap ia lontarkan, hal-hal yang tak pernah tertulis pada buku ia lontarkan lewat obrolan renyah di warung-warung kopi.
Pak Soes lekat dengan Pram, namun dia tak mengglorifikasi sosok Pram, ia juga mengkritik karya Pram, juga menceritakan sisi gelap Pram.
Pram tetaplah manusia biasa meski jutaan pembaca memuji karya-karyanya.
Di usia 88 tahun ia tetap menyempatkan diri berkeliling ke daerah-daerah, tubuhnya ringkih, jalannya susah.
Saya memapahnya saat turun dari penginapan pada sebuah acara di Blitar.
"Saya tidak berat kok, cuma 46kg," bisiknya.
Saya mengangguk pelan, sambil berhati-hati menuruni tangga.
"Nanti kalau mati biar tidak menyusahkan yang gotong," lanjutnya sambil tertawa.
Di usia sepuh masih menghadiri undangan kemana-mana. Pahit getir kehidupan sudah ia lakoni, dan mungkin tak ada lagi yang ia takuti. Ia ikhlas dan pasrah. []
Tabik,
Ahmad Fahrizal Aziz