Survivalis Suara Sastra


Survivalis Suara Sastra



Bagaimana jika Dispusip tanpa Suara Sastra? Atau, bagaimana jika Suara Sastra tanpa Dispusip?


***


Akhir tahun 2022, Jon dan Galang mengetuk pintu kantor Pak Krisna Triatmanto, yang kala itu Kadis Dispusip Kabupaten Blitar.


Mereka ingin mengadakan panggung kecil tiap dua pekan sekali di Perpustakaan daerah yang dulunya Pabrik Tiwul tersebut.


Agenda itu non budgeting, alias "pro bono publico", namun Dispusip tentu akan berpikir untuk menyuguhkan kopi hangat dan camilan ringan ketika agenda itu dilaksanakan.


Suara Sastra adalah rangkaian berikutnya dari kelas literasi dan Lemon Seger, yang juga melibatkan aktivis literasi.


Pekan pertama hanya Jon dan Galang yang datang, ditemani segelintir pegawai Dispusip.


Dua pekan berikutnya saya dan beberapa orang hadir untuk mengisi rasa penasaran. Jon masih merangkap MC dan dokumentator.


Hari berikut dan berikutnya, mulai ramai, dengan kemasan agak kritis dan satir, Suara Sastra kemudian hidup menjadi ruang pertemuan yang saling mengapresiasi ... sekaligus "membully".


Bakat-bakat ditampilkan, decak kagum bermunculan, perasaan-perasaan diluapkan.


Ada yang menghibur, ada juga yang sebenarnya tidak menghibur, namun tetap dipersilahkan.


Suara Sastra kemudian menjadi tempat bersuara dari orang-orang yang tak sempat (atau bahkan) tidak punya sarana untuk bersuara.


Seni memang tidak diperuntukkan untuk sekadar menghibur, kata Prof. Bambang Sugiharto, penulis buku "Untuk Apa Seni".


Seni adalah untuk memaknai hidup, dan hidup sendiri isinya beragam, tidak semua menyenangkan, ada yang pedih ... dan lebih sering justru berbicara soal kesedihan.


Namun, Suara Sastra harus tetap ada, kopi dan camilan, hingga setangkup gorengan dan semangkok soto ayam perlu anggaran.


Para Survivalis kemudian tampil dengan skill mereka untuk mewujudkan hal tersebut.


Caranya ... rahasia, itu tidak untuk ditulis. Namun kembali ke pertanyaan awal, bagaimana jika Suara Sastra tanpa Dispusip atau Dispusip tanpa Suara Sastra?


Suatu sore yang sejuk di samping Taman Kota, Jon dan Galang kembali melempar wacana yang lebih besar soal Suara Sastra.


Agak terkejut. Kaget. Shock. Sebab 2025 mungkin tak akan semulus tahun sebelumnya.


Mungkin ada perubahan struktur kepegawaian di Dispusip, mungkin salah satu pejabat yang welcome dengan Suara Sastra akan dimutasi atau pensiun.


Menurut kaum Stoik, kita sebaiknya memikirkan kemungkinan buruk itu agar suatu kebaikan kecil terasa sebagai anugrah panjang.


Lalu bagaimana jika Dispusip tanpa Suara Sastra, dan Suara Sastra tanpa Dispusip?


Para Survivalis akan tetap dengan rutinitasnya masing-masing.


Pejabat Dispusip juga akan tetap menjalankan tugas birokrasinya.


Suara Sastra mungkin tetap ada, mungkin tidak, atau mungkin akan menjelma lebih besar karena "anak panah" yang lahir dari letupan Jiwa kadang melesat tanpa bisa diterka.


Apalagi jika Survivalisnya makin bertambah dan terus bertambah.


Lalu, bagaimana jika Dispusip tanpa Suara Sastra, atau Suara Sastra tanpa Dispusip?


Juga ... bagaimana jika keduanya tidak pernah ditakdirkan untuk bertemu?


Meskipun takdir ternyata tidak begitu. []


Tabik,

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak