Malam telah larut di sudut Shinjuku, Tokyo, ketika seorang pria paruh baya memasuki kedai kecil bernama Meshiya.
Wajahnya tampak penuh beban, sementara langkahnya ragu. Ia duduk di salah satu dari lima kursi yang mengelilingi meja kayu.
Tanpa banyak kata, pria yang biasa dipanggil Master, menyajikan secangkir teh hangat.
“Apa yang bisa saya buatkan?” tanyanya, dengan nada lembut namun penuh perhatian.
***
Master bukan hanya seorang koki, ia adalah pendengar setia yang menawarkan ruang aman bagi siapa saja yang memasuki kedainya.
Gaya busananya khas, jinbei/linen biru dan celemek putih dan geta/sendal kayu tradisional.
Meshiya, yang buka dari pukul 12 malam hingga 7 pagi, adalah tempat di mana para pelanggan dari berbagai latar belakang merasa diterima tanpa rasa dihakimi.
Dalam budaya Jepang, konsep omotenashi—keramahan tanpa pamrih—sangat melekat pada kepribadian Master.
Ia mendengarkan cerita-cerita mereka dengan hati terbuka, memberi mereka ruang untuk jujur tentang diri mereka sendiri.
Bekas luka panjang di wajahnya menjadi simbol bahwa ia sendiri telah menghadapi masa lalu yang berat, membuatnya lebih mudah memahami orang lain tanpa prasangka.
Sikap Master yang tenang dan bijaksana tercermin dalam cara ia menjalankan kedainya.
Ia menghormati privasi pelanggannya, namun selalu siap memberikan saran bijak ketika diminta.
Ia sering menjadi mediator bagi pelanggan, mulai dari urusan karir, asmara hingga persabahatan.
Kedai Meshiya tak sekadar tempat makan, ia adalah ibasho—tempat di mana seseorang merasa diterima sepenuhnya.
Keahlian Master dalam memasak melengkapi kepribadiannya yang penuh empati.
Ia memiliki menu tetap berupa tonjiru—sup miso babi hangat dengan sayuran, bir, sake, dan shōchū.
Namun, keunikan kedainya terletak pada fleksibilitasnya untuk menerima pesanan khusus, selama bahan-bahannya tersedia di dapurnya.
Atau, pelanggan membawakan bahan mentahnya untuk diracik sang master.
Neko manma—nasi putih dengan serpihan katsuobushi, mengingatkan pelanggannya pada kesederhanaan masa kecil.
Ham katsu, irisan tipis daging ham yang dilapisi tepung roti dan digoreng, menjadi simbol kenangan bagi pelanggan yang ingin bernostalgia.
Bahkan ia juga bisa menyajikan salad kentang, dengan tekstur creamy-nya yang lembut, pesanan seorang aktor film dewasa yang sedang merindukan Ibunya.
Ada juga nasi mentega hangat dan aromanya yang khas, favorit penyanyi jalanan yang hanya mampu membayar dengan sebuah lagu.
Setiap makanan di Meshiya adalah jembatan emosional antara masa lalu, masa kini, dan hubungan antar manusia.
Seperti tamago sando atau chahan yang membawa makna mendalam, seperti kenangan akan rumah, cinta, atau harapan.
Suasana kedai Meshiya turut memperkuat daya tarik karakter Master, dengan pencahayaan remang dari lampu kuning hangat dan aroma sedap dari dapur kecilnya, tempat ini menawarkan kenyamanan di tengah kesunyian malam.
Pelanggan yang beragam, mulai dari pekerja kantoran, penyanyi, mahasiswa, kritikus makanan, artis, hingga anggota yakuza, duduk berdampingan di meja yang sama, berbagi cerita dan makanan.
Kebersamaan seperti ini dikenal dengan istilah isshoku dokon, di mana makan bersama menciptakan koneksi yang mendalam.
Master adalah simbol ketenangan di tengah kehidupan kota yang sibuk.
Ia menunjukkan bahwa perhatian dan empati dapat mengubah hidup seseorang, bahkan hanya melalui secangkir teh hangat atau sepiring makanan sederhana.
Melalui peranannya, Meshiya menjadi lebih dari sekadar kedai; ia adalah tempat di mana kehidupan bertemu, terhubung, dan disembuhkan—semuanya dimulai dari makanan yang diolah dengan cinta dan perhatian.
Pemeran Master dalam serial Midnight Diner adalah Kaoru Kobayashi.
Ia sukses memerankan karakter sebagai pendengar, tidak banyak bicara dan misterius.
Segala teori kepribadian melekat padanya, mulai dari sikap nonjudgmental dan altruis.
Bekas luka di wajah Master melambangkan masa lalunya yang penuh tantangan, tetapi ia menunjukkan resilience—kemampuan untuk bangkit dari kesulitan dan melanjutkan hidup. []
Tabik,