Ada sesuatu yang tak pernah usai di Mampang. Di Jalan Bangka Raya, hidup berjalan seperti aliran sungai yang tak punya akhir.
Di tengah itu, Hotel Kuretakeso berdiri, ramping menjulang. Seonggok gedung mematung di antara kerumunan jalan raya. Di situlah saya menginap selama seminggu.
Keluar dari hotel, Jalan Bangka segera menyergap dengan segala bagiannya yang tak simetris.
Restoran Italia dengan lampu temaram bersaing dengan warung nasi sederhana.
Di salah satu sudutnya, Nasi Kapau “Langganan” melambai mesra, menyuguhkan gulai tambusu dengan aroma santan yang menyapa dari kejauhan.
Telur barendo digoreng hingga renyah, cabai hijau ditumbuk kasar bersama bawang putih dan jeruk nipis, asam-pedas menyegarkan.
Di tengah mobilitas kota yang tak pernah padam, sepiring Nasi Kapau adalah pelarian.
Kuahnya kuning keemasan, kolaborasi lengkuas, kunyit, dan santan, menyelimuti lidah dengan kehangatan.
***
Kemang adalah sisi lain dari Mampang. Bercahaya di malam hari, berbisik pada orang-orang yang mencari sesuatu, dan belum tentu mereka temukan.
Lampu neon di bar-bar sepanjang Kemang Raya memantulkan warna-warni di jalanan basah sisa gerimis.
ORO Italian Restaurant dan Murphys Irish Pub adalah yang paling mencolok, glamour.
Mampang Prapatan Raya mengingatkan tentang kerja keras. Jalan itu tak pernah benar-benar sepi.
Sepeda motor menyelinap seperti tikus di antara mobil-mobil yang merayap.
Driver Grab Bike menghampiri, tak ada bunyi knalpot, suaranya hampir tak terdengar, hanya desis lembut saat meluncur.
Motor itu menggunakan baterai, bila habis cukup ditukar di Alfamart sepanjang jalan.
Motor listrik itu seperti irama modern yang menyelip di antara nada-nada lama jalanan Jakarta.
Pagi-pagi buta, pasar tradisional di sekitar Jalan Bangka hidup dalam tempo yang berbeda.
Ibu-ibu dengan keranjang rotan bernegosiasi. Ikan segar dan sayur-mayur membentuk simfoni warna dan bau.
Mampang juga punya sisi melankolis. Di balik hiruk-pikuk, rumah-rumah kolonial dengan cat yang mulai mengelupas masih di lestarikan.
Pohon-pohon besar di halaman rumah menggambarkan kenangan, yang mungkin sudah dilupakan oleh penghuni barunya.
Gedung-gedung tinggi jarang terlihat di sini. Mampang memilih untuk tetap membumi, menjaga dirinya dari ambisi langit yang menjulang.
Malam di Mampang adalah penutup yang lembut. Kemang Raya yang tadi berkilauan kini meredup.
Hanya suara angin dan sesekali langkah kaki terdengar. Lampu jalan menerangi trotoar yang kosong, menciptakan bayangan yang panjang dan sepi.
***
Grab Bike motor listrik berhenti di depan hotel. Perjalanan berakhir, tetapi Mampang masih hidup, terus bercerita.
Mampang adalah Jakarta yang tak terburu-buru, menyimpan tradisi di tengah modernitas, menyelipkan cerita kecil di sela-sela gemuruh kota.
Saya kembali ke hotel, mengisi bathup dengan air hangat dan siap berendam, menikmati hening di ruangan minimalis. []
Tabik,