Suara itu meluncur halus, mengisi ruang kosong, tak menggelegar, tak menuntut perhatian, tetapi perlahan merayap masuk.
Dalam setiap getar suaranya, ada luka yang lembut, seperti sisa bau hujan setelah gemeletar petir berlalu.
“Satu Bulan” hadir. Sebuah lagu yang ringan didengar, tetapi anehnya, ia menghunjam dalam.
Serupa percakapan intim di tengah malam, ketika kata-kata tak perlu diolah, hanya diucapkan.
Liriknya sederhana: belum genap sebulan, namun perpisahan telah melahirkan lubang kekosongan.
Di sisi lain, sang mantan telah melanjutkan hidupnya, tersenyum lebih lepas, sementara “aku” masih berdiri di tempat yang sama, menggenggam angan yang hilang.
Lagu ini merayakan patah hati dengan cara yang indah. Tak ada ratapan yang meledak, tak ada dendam yang diselipkan.
Hanya kejujuran yang diterima apa adanya. “Kalau bisa jangan buru-buru, kalau bisa jangan ada dulu,” kata-kata itu meluncur pelan, seperti doa yang disampaikan dengan harap tak harap.
Gitar akustik yang berpadu dengan piano lembut, seperti lantai kayu yang menopang tarian melodi Bernadya.
Ia melangkah pelan, memberi ruang bagi suara dan cerita. Tak ada dramatisasi, tak ada ornamen berlebih.
Yang ada hanyalah ruang kosong yang diisi dengan rasa: kehilangan, kerinduan, ketidakberdayaan.
Bernadya berbicara dengan bahasa harian, tetapi dari situ ia menciptakan puisi.
Kata-kata sederhana—wangimu, senyummu, pelukmu—di tangannya menjadi lebih dari sekadar kata.
Mereka menjadi kenangan yang kembali dihidupkan, menjadi rasa yang tak terungkap dalam pertemuan.
Lagu ini tidak menawarkan solusi. Tidak ada pelajaran tentang bagaimana melupakan, tidak ada janji bahwa segalanya akan membaik.
Justru di situlah keindahannya. “Satu Bulan” adalah monumen bagi mereka yang masih berada dalam fase itu: belum menerima, belum melangkah.
Sebuah pengakuan bahwa tidak apa-apa untuk belum selesai, bahwa ada keindahan dalam menunggu, meski hanya menunggu yang sia-sia.
Dalam “Satu Bulan” Bernadya menuturkan bahwa patah hati bukanlah akhir, tetapi bagian dari perjalanan.
Ia tidak melarikan diri dari rasa sakit, tetapi merangkulnya, seperti seorang sahabat lama yang datang meski tak pernah diharapkan.
Lagu ini adalah ruang untuk bernafas di tengah kesedihan, ruang untuk mengingat tanpa terburu-buru melupakan.
Ia tidak memaksa pendengarnya untuk sembuh, tetapi mengizinkan mereka untuk tinggal sebentar dalam kesedihan mereka.
Tak apa. Rasakan dulu. Nanti kita lanjutkan lagi.
Tabik,
www.jurnalrasa.my.id