Kuretake Rooftop



Meja-meja kecil tertata rapi, ditemani bunga mungil yang berdiri sunyi dalam vas keramik putih. 


Tidak ada suara bising, hanya alunan lembut instrumen Jepang.


Pemandangan Jakarta terbentang di depan mata, gedung-gedung tinggi yang menjulang seperti barisan pohon di hutan beton. 


Dari kejauhan, langit pagi berwarna jingga, melukis kanvas yang hanya ada di waktu-waktu tertentu. 


Sepiring dimsum hadir, lembut seperti kabut pagi. Kulitnya yang tipis membungkus rasa, sementara saus cuka hitam yang menyertainya, memberikan kejutan kecil. 


Di sebelahnya, nasi goreng khas Indonesia terhidang dengan kerupuk yang renyah dan telur mata sapi yang cerah. 


Rasa lokal yang akrab ini membawa kita pulang sejenak, meski sedang jauh dari rumah.


Namun, ada juga aroma Jepang yang menggoda. Sepotong salmon teriyaki, berkilauan di bawah saus manis, konon beginilah cara orang Kyoto menikmati hidangan; kesederhanaan adalah seni. 


Atau saba shioyaki, mackerel panggang yang hanya dibumbui garam, namun memunculkan rasa laut yang tak tergantikan. 


Setiap gigitan adalah meditasi, setiap rasa membawa lebih dalam pada harmoni pagi.


Di meja lain, seorang tamu tenggelam dalam keheningan, mengaduk bubur ayam dengan irisan cakwe dan bawang goreng. 


Bubur itu mengepul, seperti napas yang baru saja terbangun, hangat nan menghibur. 


Sementara itu, seorang anak muda memilih bento: nori okaka dengan serpihan bonito yang gurih, dashimaki tamago yang manis, dan kroket daging yang renyah. 


Setiap elemen dihidangkan dengan presisi.


Dan di sisi meja, piring kecil berisi potongan buah: pepaya, melon, dan semangka. 


Warna-warna cerahnya seperti musim panas yang dihidangkan di atas keramik putih. 


Pepaya yang lembut, melon yang manis seperti embun pagi, dan semangka yang menyegarkan, membawa keseimbangan pada semua rasa berat sebelumnya. 


Tidak ada yang istimewa, namun justru kesederhanaannya membuat setiap suapan terasa berarti.


Di sudut resto, secangkir kopi Jepang menunggu, hitam dan kuat.


Atau mungkin teh hijau hangat, sederhana namun menenangkan.


Di luar jendela, Jakarta tetap sibuk, tapi di dalam ruang ini, waktu terasa membeku.


Sarapan di Kuretake Rooftop adalah perjalanan kecil, setiap hidangan seperti bait dalam haiku, sederhana namun penuh makna. 


Cahaya merayap pelan di meja, wangi makanan yang membawa kenangan, pemandangan kota yang menjanjikan hari baru, juga kepulan asap dari tembakau pilihan melengkapi waktu sarapan.


Tabik,


Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak