Hati yang Remuk


*di atas Rel


Kerumunan manusia seperti riuh suara tanpa makna. Orang-orang berlalu-lalang dengan wajah-wajah yang sibuk.


Bau logam bercampur aroma makanan cepat saji menguar di sudut peron. 


Ia berdiri di sana, di antara semua itu, memandangi papan digital yang mengumumkan jadwal keberangkatan. Hatinya serasa beku.


Ketika kereta akhirnya tiba, Ia memasuki gerbong dengan langkah lamban. 


Kursi-kursi berjajar rapi, sebagian sudah dihuni oleh penumpang lain. 


Ada seorang ibu dengan bayi yang tertidur di gendongannya, seorang pria tua dengan topi lusuh, dan sepasang remaja yang tampak asyik berbincang. 


Pendingin ruangaan menderu pelan, redup lampu membuat suasana semakin sendu. 


Di sudut tempat duduknya, dia meletakkan ransel dan menatap ke jendela besar. 


Langit sore mulai meredup, memberi jalan bagi gelap malam.


Tiga hari sebelum keberangkatan ke Jogja, dia kehilangan sesuatu yang telah lama menjadi bagian dari dirinya. 


Hubungan yang ia bangun dengan hati-hati, akhirnya runtuh. 


Kata-kata perpisahan masih terngiang di telinganya, perih seperti angin dingin menerpa luka menganga. 


Saat ini, yang ia inginkan hanya berebah di ranjang dan meratapi nasib.


Tubuhnya terasa lemah untuk bergerak, namun waktu tidak pernah berhenti. Ia tidak punya pilihan selain melangkah, meski langkahnya terasa berat.


Saat kereta mulai bergerak, ada letupan² aneh yang menjalar di dadanya. 


Suara roda yang menggesek rel menjadi irama monoton yang mengiringi pikirannya. 


Ia bertanya-tanya, apakah perjalanan ini juga akan membawa hatinya bergerak maju? 


Tak ada ruang untuk menyimpang, tak ada pilihan selain terus berjalan. Bukankah hidup juga seperti itu?


Ia mencoba melarikan diri dari rasa sakit, tapi putaran roda seperti mengupas lapisan-lapisan luka yang masih segar. 


Pemandangan di luar jendela—sawah yang luas, sungai kecil yang berkilauan, hingga lampu-lampu rumah yang berjajar di kejauhan—semuanya seolah membisikkan pelajaran yang tak terucap. 


Mungkin, seperti halnya kereta ini, Ia juga harus terus melaju, meski beban berat di hatinya belum menemukan tempat untuk diturunkan.


Setibanya di Jogja, pagi telah datang. Kota itu menyambutnya dengan keramahan yang khas—dari bau kopi yang mengepul di angkringan hingga suara gamelan yang samar terdengar dari kejauhan. 


Ia mengatur napas, merapikan penampilannya, dan memasang senyuman.


Di tempat kerja, profesionalisme adalah tuntutan. Orang-orang menyapanya dengan ramah, tak ada yang tahu badai kecil yang masih bergejolak di dalam dadanya. 


Malam itu, saat dia akhirnya sendiri di kamar, rasa lelah menghantamnya. 


Tapi ada sesuatu yang berbeda—entah kenapa, dia merasa sedikit lebih ringan. 


Mungkin perjalanan itu telah mengajarinya bahwa waktu, meski tidak bisa menyembuhkan seketika, selalu memberi ruang untuk bertahan. 


Seperti kereta yang tak pernah berhenti, hidup memintanya untuk terus bergerak. 


Rel yang dilalui terasa panjang dan membosankan, tapi di ujungnya, selalu ada tujuan yang menanti. []



*dari obrolan seorang teman


Tabik,

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak