Di sebuah ruangan sunyi berlapis kayu tua, cahaya kuning temaram jatuh menyisir kaca lemari.
Di baliknya, terbaring cerutu-cerutu Partagás seperti serdadu yang berbaris—kukuh, padat, dan menyimpan rahasia yang hanya bisa diungkap oleh api dan napas.
Tangan yang merentang tembakau itu pernah bersinggungan dengan tanah Kuba yang subur.
Di sana, Vuelta Abajo menceritakan kisahnya lewat daun-daun hijau yang memeluk udara basah Karibia.
Don Jaime Partagás tahu benar itu ketika ia membangun mereknya di tahun 1845.
Namanya kini seakan menjadi mantra yang berbisik di bibir para penikmatnya.
Di ujung Partagás, api membakar pelan, asap mengepul, lembut dan berat seperti puisi yang tengah mendaki.
Ada rasa yang hidup dalam setiap isapannya: lada hitam yang tegas, kayu tua yang berumur, sesekali menyelinap madu yang hangat dan kopi yang getir.
Tetapi rasa itu tidak pernah hanya tentang lidah—rasa adalah kisah yang bergulir di langit-langit mulut, yang diam-diam berlarian bersama kenangan dan bayangan.
Cerutu adalah waktu yang dipadatkan. Tidak terburu-buru, tidak pula berakhir sia-sia.
Inilah yang membuatnya agung, barangkali lebih agung dari anggur yang menuai waktu dalam tong kayu, lebih sunyi dari kopi yang menyeduh pagi.
Cerutu seperti Partagás memaksa kita duduk—benar-benar duduk.
Di era yang semua orang berlari, sebatang Partagás mengembalikan kita ke titik awal: napas yang tertib, aliran udara yang bersahaja, penghayatan terhadap setiap detik yang berlalu.
Dunia bisa berteriak di luar sana, tetapi di dalam lingkaran asap yang pelan itu, ada keheningan.
Orang-orang berkata bahwa cerutu ini adalah lambang kemewahan. Tapi kemewahan itu hanya akan sampai pada mereka yang bisa memaknainya.
Apalah artinya tembakau dari Kuba, jika ia hanya dibakar tanpa dipahami? Sebab sebatang Partagás adalah upaya, bukan kepemilikan.
Sebuah pengingat bahwa sesuatu yang indah tidak pernah terbentuk dengan tergesa.
Tangan-tangan yang menggulungnya—yang memilih daun terbaik, yang merangkainya satu demi satu—bercerita tentang ketekunan yang sudah lama kita tinggalkan.
Bagi penikmatnya, Partagás adalah selembar surat cinta dari masa lalu.
Sebuah perjalanan melewati generasi, dari ladang-ladang Kuba hingga tangan-tangan asing yang tak sabar mengeluarkan korek api.
Orang seperti Churchill tahu bagaimana menghormati tembakau yang baik; bukan sekadar dibakar, tetapi ditemani.
Sebab menemani adalah perihal menjadi bagian dari sesuatu yang hidup lebih lama dari kita.
Barangkali inilah yang membuat Partagás istimewa. Ia tak pernah tergesa menempuh hidupnya.
Daun-daunnya menua, meluruhkan getir yang dulu melekat, hingga tiba waktunya.
Pada setiap batang, ada napas para pengrajin, ada aroma tanah Vuelta Abajo yang kita hirup meski belum pernah menjejaknya.
Saat api merayap menuju ujung, waktu terasa berhenti. Tidak ada ponsel yang bergetar, tidak ada rapat yang menunggu.
Hanya ruang itu dan keheningan yang mengembang di antara kita dan kepulan asap.
Barangkali itulah sebabnya cerutu tidak pernah benar-benar bisa mati.
Sebab ia telah menciptakan kehidupan kecil di dalamnya—hidup yang samar, singkat, namun tidak pernah sia-sia.
Dan Partagás, dengan segala rasa dan waktunya, adalah puisi yang terbakar perlahan.
Tabik,