Ruangan itu masih cukup lengang saat aku buru-buru menghabiskan semangkok Soto Lawu selepas Isya'.
Tempat yang dulu rutin ku kunjungi setiap Jumat, terutama sepanjang tahun 2018.
Pak Budi Kastowo (BK) sudah di lokasi bersama mas Ferry, berdiri di selasar sambil berbincang tentang Bung Karno dan sejarah PETA.
Hari ini Aktivis Peneleh Blitar menggelar agenda diskusi yang merupakan peluncuran kelas guru bangsa, di ruang AVI Gesuri (14/12/24).
Budi Hew memintaku menjadi moderator, namun dengan syarat: ada Pak Aji kan?
***
5 Desember 2021 aku dan Pak BK menjadi pembedah buku Gagasan tentang Peradaban, Syarah Pemikiran HOS Tjokroaminoto di Kafe Jasmine.
18 Januari 2020, di pintu Pandemi, aku menjadi moderator bedah buku Syarah Sejarah Pemikiran HOS Tjokroaminoto di Ruang AVI.
Sejak 2016 hingga akhir 2019, entah dengan label FLP Blitar, Paguyuban Srengenge, hingga Komunitas Muara Baca, Perpustakaan Bung Karno adalah tempat yang paling sering ku datangi.
Setiap pekan, dua buku kubaca, berbincang kepenulisan di hari Ahad, diskusi tiap hari Jumat mulai dari Tadarus Pemikiran Tokoh Bangsa, Bincang Buku dlsb.
Pandemi datang dan Perpustakaan menjadi tempat yang asing, lebih dari setahun aku tak lagi berkunjung ke sana.
Setelah Pandemi usai, mengembalikan kebiasaan lama ternyata tak mudah, selain sudah nyaman dengan aplikasi iPusnas, juga perubahan habit dalam mengakses informasi.
Maka, ketika Pak Aji Dedi Mulawarman, founder Yayasan Peneleh Jang Oetama berkata "berani membaca buku", itu terasa sangat kontekstual.
Siapa yang masih membaca buku? Tantangan sekarang begitu banyak: chat-chat whatsapp, Gemini (Google versi AI) hingga Chatgpt.
Buku seperti lorong masa lalu yang tak menawarkan aktualitas, tergerus oleh ponsel dengan beragam fitur yang memikat.
Alasanku bersedia menjadi moderator malam ini, salah satunya karena kehadiran Pak Aji, bertemu langsung dengan sosok pendirinya.
Lewat aktivis Peneleh, gagasan masih menjadi topik mewah untuk diperbincangkan, apalagi para aktivisnya dipompa untuk bisa menulis, menerbitkan buku.
Lebih menarik lagi, di dalam Aktivis Peneleh ada beragam kader organisasi Islam.
Malam itu, hadir Koordinator Nasional (Kornas), Muh. Fadhir A.I. Lamase, anak rantau dari Kabupaten Buol Sulawesi Tengah, yang ternyata juga aktivis IMM.
Di dalamnya juga ada aktivis HMI, PMII, dan lain sebagainya. Inilah salah satu hal menarik dari Aktivis Peneleh.
Berani Membaca Buku. Kata-kata itu terus terngiang sebagai refleksi bahwa kita semakin menjauhinya.
Serupa ungkapan "Sapere aude" dalam Epistularum Liber Primus, yang kemudian dipopulerkan oleh Immanuel Kant.
Jika diterjemahkan bisa diartikan: berani berpikir sendiri, berani tahu, berani bijaksana. Silahkan tuan dan puan lebih menyukai yang mana.
Aku sendiri lebih sering membuka iPusnas ketimbang datang ke Perpustakaan, sebenarnya tak masalah, hanya beda versi.
Namun vibesnya beda. Tak ada lagi bau kertas, tak merasakan jari-jari memilah buku di antara rak-rak besi.
Percakapan tentang isinya juga semakin jarang, apalagi sejak serbuan reels dan TikTok, informasi dikemas sederhana dan sekilas, dan itu yang menjadi daya tarik anak-anak sekarang.
Membaca buku? Semakin kuno dan usang. Sulit menjadi FYP.
***
Kembali ke agenda tersebut, Pak BK mengawali dengan menceritakan awal berdirinya Perpustakaan Bung Karno, dan sekilas relasi Bung Karno dan HOS Tjokroaminoto.
Lanjut mas Ferry Ryandika yang bercerita tentang R. Darmadi, ayah Soeprijadi, lalu ke sosok Soetjipto Gondoamidjojo, sosok kepercayaan Bung Karno yang tak terlalu dibahas dalam sejarah.
Berlanjut ke Pak Aji yang memaparkan kedekatan HOS Tjokroaminoto dan Bapak Bung Karno, Raden Soekeni.
Termasuk ketika SI menggelar Vargadering di Blitar dan kemudian berkunjung ke Ponpes Maftahul Uluum yang didirikan KH. Imam Bukhari di Jatinom.
Kala itu, HOS Tjokroaminoto bertemu Sukarno kecil (Kusno) dan meramalkan jika kelak anak itu akan menjadi pemimpin.
***
Perbincangan sejarah selalu menarik, tokoh-tokoh zaman dulu penuh keteladanan. Tangguh meski di tengah keterbatasan fasilitas.
Usaha menyusun harapan dan mengumpulkan lagi kebanggaan yang terserak pada kebun masa lalu.
Lebih dari satu dekade menjadi aktivis literasi, harapanku sangat sederhana: semoga membaca dan menulis masih terus lestari.
Meski kini dibutuhkan keberanian lebih. []
Tabik,
Ahmad Fahrizal A.