Seorang anak kecil tengah memandangi bayangan wayang kulit.
Cahaya lampu minyak menghidupkan tokoh-tokoh itu di dinding bambu, seolah memberi mereka suara dan nyawa.
Anak itu adalah Nasirun, yang kemudian hari akan dikenal sebagai pelukis yang menjembatani tradisi dan seni rupa modern.
Ia lahir pada 1 Oktober 1965. Dunia kecilnya di pesisir selatan Jawa tidak dihiasi kemewahan.
Dalam kesederhanaan yang hening, tradisi berbisik kepadanya.
Ibunya, seorang perempuan bijak, penjaga nilai-nilai tradisi yang kelak melekat pada setiap goresan Nasirun.
Ia tidak memberi Nasirun banyak harta, hanya doa yang diselipkan dalam satu kata yang penuh makna: Bismillah yang tiada habisnya.
"Ibu hanya bisa memberikanmu Bismillah," katanya suatu hari pada sebuah podcast.
Kata itu adalah harapan, doa yang tak pernah terputus.
Sejak itu, Bismillah menjadi langkah pertama Nasirun dalam segala hal—entah saat melukis, entah saat menggantungkan harapan kepada dunia seni yang begitu luas, begitu jauh dari desa kecilnya.
Nasirun bukan seorang anak yang besar oleh gemerlap. Ia tumbuh dengan cerita-cerita wayang, suara gamelan yang samar-samar dari kejauhan, dan dongeng-dongeng yang ibunya sisipkan sebelum ia tidur.
Sejak kecil, ia belajar melihat dunia bukan hanya dari apa yang nyata, tetapi juga dari apa yang tersembunyi.
Dalam setiap celah, ada simbol; dalam setiap garis, ada cerita.
Ketika akhirnya ia menjejakkan kaki ke Yogyakarta untuk belajar seni rupa, ia membawa serta dunia kecilnya.
Di Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI), lalu di Institut Seni Indonesia (ISI), belajar melukis, mencari makna hidup.
“Bagaimana aku bisa menjaga apa yang pernah kubawa dari desaku?”
Pertanyaan itu membawanya pada warna-warna yang kaya, pola-pola yang rumit, dan simbol-simbol yang berbisik dalam diam.
Ia bekerja keras, mungkin lebih keras dari yang bisa dibayangkan.
Hidupnya adalah perjuangan untuk menjahit kembali masa lalu ke dalam kanvas yang baru.
Ketika orang lain mungkin melihat seni sebagai kompetisi, Nasirun melihatnya sebagai doa yang panjang, doa yang tak selesai.
Waktu berlalu, dan karya-karyanya mulai menemukan tempat.
Orang-orang melihat apa yang ia bawa: bukan sekadar lukisan, tetapi cerita.
Dalam goresan kuasnya, ada wayang yang berbicara, ada umbul yang bergetar oleh angin, ada sejarah yang mencoba bertahan dalam modernitas yang terus mendesak.
Nasirun kini adalah nama besar, tetapi ia tetap Nasirun yang dulu.
Ia tidak berubah oleh pengakuan. Ia tetap anak kecil yang memandangi bayangan wayang di dinding bambu.
Ia tetap anak yang hidup dengan hadiah sederhana dari ibunya: Bismillah.
Dalam setiap karya yang ia ciptakan, doa itu terus mengalir, tak putus.
Dan mungkin, itulah yang membuat karyanya punya daya pikat. []
Tabik,