Dua ideologi bertemu dalam nuansa hangat perdebatan. Pro Life dan Pro Choice.
Di satu sisi, mereka yang percaya bahwa kehidupan dimulai dari konsepsi, berbicara lantang menyuarakan perlindungan tanpa syarat bagi janin.
Di sisi lain, mereka yang menempatkan hak perempuan sebagai hal utama, menekankan bahwa tubuh adalah milik individu, bukan milik negara atau norma.
Dua sisi ini, dengan argumen dan keyakinan masing-masing, terus mencari ruang untuk didengar.
Jakarta Feminist, dalam sebuah agenda diskusinya, mengundang komunitas Dokter Tanpa Stigma, LBH APIK, PKBI dan komunitas lain yang concern pada Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR).
Dalam forum ini, perdebatan menjadi lebih kompleks, melibatkan aspek hukum, moralitas, kesehatan, hingga keadilan sosial.
Aborsi, kata yang sering menjadi pemantik konflik, menjadi pusat diskusi.
***
Secara sederhana, aborsi adalah penghentian kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar rahim.
Di Indonesia, aborsi diatur dengan sangat ketat oleh hukum.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan mengizinkan aborsi hanya dalam dua kondisi: ketika ada indikasi medis yang mengancam nyawa ibu atau janin, dan ketika kehamilan adalah hasil dari tindak perkosaan yang dapat menyebabkan trauma berat.
Batas usia kehamilan untuk aborsi akibat perkosaan ditetapkan maksimal 40 hari setelah hari pertama haid terakhir.
Namun, aturan ini sering kali menghadapi tantangan. Dalam praktiknya, banyak perempuan yang menghadapi stigma sosial, tekanan moral, hingga minimnya akses ke fasilitas kesehatan yang aman.
Dokter Tanpa Stigma mencatat bahwa banyak perempuan terpaksa melakukan aborsi di tempat yang tidak aman, berisiko tinggi terhadap kesehatan bahkan nyawa mereka.
Selain stigma, ada problem mendasar lain, yakni kurangnya edukasi mengenai kesehatan reproduksi dan hak perempuan.
Banyak perempuan muda yang tidak memiliki akses informasi yang memadai tentang kehamilan dan kontrasepsi.
LBH APIK menyoroti kasus di mana perempuan korban perkosaan sering kali dihadapkan pada dilema hukum dan moralitas, membuat mereka sulit mengambil keputusan yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Kemiskinan juga menjadi faktor yang memperumit masalah ini.
Perempuan dari lapisan masyarakat ekonomi bawah cenderung tidak memiliki akses ke layanan kesehatan yang berkualitas, membuat mereka lebih rentan terhadap praktik aborsi yang tidak aman.
***
Di forum Jakarta Feminist, suara-suara mulai bergeser dari hanya debat menjadi upaya pencarian solusi.
Pro Life tidak lagi tentang larangan, tetapi bagaimana menyediakan dukungan penuh bagi perempuan hamil, baik secara psikologis maupun finansial.
Pro Choice pun menggarisbawahi pentingnya menciptakan lingkungan yang memungkinkan perempuan membuat keputusan dengan informasi yang lengkap dan tanpa tekanan.
Perdebatan ini tidak mengerucut pada siapa yang benar atau salah. Ini tentang bagaimana menciptakan sistem yang adil, empati, dan mendukung perempuan dalam menjalani keputusan yang sulit.
Jalan tengah tidak mudah ditemukan, tetapi diskusi seperti ini menjadi awal untuk memahami bahwa hak hidup dan hak memilih, keduanya penting dalam membangun masyarakat yang manusiawi.
Tabik,