Masa tenang jelang pencoblosan justru semakin riuh, namun tidak tampak.
Baliho, poster, dan alat peraga kampanye telah dicopot, seruan tolak politik uang semakin dibunyikan meski tak lagi terdengar nyaring.
"Ini bukan politik uang, namun sedekah," ujar salah seorang.
Ya, sedekah politik atau sedekah politis; diberikan tanpa menuntut harus pilih si A.
Namun dalam hati bergumam: ya mosok ora milih, sama-sama paham lah.
Detik-detik akhir, jelang pencoblosan, distribusi uang tunai kian masif, maka ada istilah "serangan fajar".
Semakin mendekati pencoblosan semakin efektif karena itu "tumpukan terakhir".
Masing-masing timses sudah mengantongi data dan banyak yang datanya sama.
Satu orang bisa menjadi sasaran timses A maupun timses B, maka masing-masing timses saling menunggu: kapan "peluru" akan dilesatkan?
Amplop paling terakhir biasanya yang paling diingat, dan amplop-amplop sebelumnya akan dilupakan.
Kecuali, pada kantong pemilih loyal, pemilih ideologis, atau pemilih yang terikat lebih jauh dengan si calon.
Ini namanya "sedekah politik", jika tidak mau disebut "politik uang". Sedekah kan, sah sah saja?
Sementara itu, masyarakat sudah mulai apatis, tidak terlalu peduli pada calon, tidak ada perbedaan yang mencolok.
Siapapun yang terpilih pasti tak jauh berbeda, itu terjadi dari tahun ke tahun.
Karenanya, ukuran akhirnya adalah "amplop terakhir". Ini menyedihkan, namun realitanya demikian.
Kecuali ada sesuatu yang benar-benar berbeda, dari rekam jejak, kemampuan mengartikulasikan gagasan, atau keberpihakan secara ideologis.
Orang semacam itu tidak akan dapat tiket untuk menjadi calon pemimpin, karena tidak punya kemampuan "sedekah".
Tabik,