Setiap pagi saya tidak pernah melewatkan satu rutinitas: minum kopi.
Ritual kecil yang sederhana, tetapi selalu menjadi momen penting untuk menyapa hari, dan favorit saya? Kopi Berontoseno.
Entah apa yang membuat kopi ini begitu pas di lidah. Mungkin perpaduan arabika dan robusta yang diracik dengan takaran hampir sempurna.
Sejak pertama kali mencicipinya, kopi sachet lain terasa seperti kehilangan greget. Tidak salah kalau Berontoseno ini seperti maestro kecil dalam dunia kopi sachet.
Berontoseno ini bukan kopi mahal. Tetapi, rasanya punya kelas tersendiri. Seimbang. Tidak terlalu asam seperti arabika murni, tetapi juga tidak sepekat robusta.
Kopi ini pas. Jika kopi bisa berbicara, Berontoseno akan berkata: "Santai saja, Nikmati aku perlahan." Dan memang seperti itu cara menikmatinya.
Berbicara soal kopi, sebenarnya dunia kopi itu seperti labirin rasa yang tiada habisnya.
Ada arabika, robusta, liberika, hingga excelsa. Arabika adalah bintang utama di dunia kopi spesialti.
Rasanya cenderung asam dengan aroma yang kompleks — kadang ada catatan rasa buah, kadang seperti cokelat.
Tapi jangan salah, arabika ini juga agak manja. Dia hanya tumbuh baik di ketinggian tertentu, dengan perawatan ekstra hati-hati.
Lalu ada robusta. Ini kopi yang lebih tahan banting. Rasanya lebih pahit, dengan kadar kafein yang lebih tinggi.
Robusta sering dianggap lebih 'kasar' dibanding arabika, tetapi di sinilah kekuatannya. Ia memberikan rasa yang tegas, cocok untuk mereka yang mencari 'tendangan' di pagi hari.
Liberika? Ini lebih eksotis. Bijinya lebih besar, aromanya unik, tetapi produksinya sangat terbatas.
Biasanya hanya ditemukan di daerah-daerah tertentu seperti Jambi.
Kalau excelsa? Ini varian langka, sering dipakai untuk menambah kompleksitas rasa di campuran kopi.
Mungkin hanya para penikmat kopi sejati yang mau meluangkan waktu untuk benar-benar memahami varian ini.
Kembali ke kopi Berontoseno. Saya tidak tahu siapa yang menciptakan formula racikannya, tetapi orang itu pantas diberi penghargaan.
Sayangnya, beberapa waktu belakangan ini, harga kopi Berontoseno naik hampir dua kali lipat.
Dulu, saya bisa mendapatkannya dengan harga yang sangat bersahabat. Sekarang? Rasanya seperti membayar tiket premium untuk konser kopi sachet.
Apakah saya berhenti meminumnya? Tidak. Belum ada pilihan lain.
Saya pernah mencoba beberapa merek lain, berharap menemukan pengganti. Tetapi, tidak ada yang bisa menyamai keseimbangan rasa Berontoseno.
Merek-merek lain terlalu asam, terlalu pahit, atau terlalu banyak gimmick rasa-rasa aneh seperti 'vanilla caramel' yang malah terasa seperti minum permen cair.
Harga naik memang tidak menyenangkan. Tetapi, begitulah hidup. Kadang, untuk sesuatu yang benar-benar kita nikmati, kita rela mengeluarkan sedikit lebih banyak.
Mungkin ini cara kopi Berontoseno mengajarkan saya soal apresiasi: menikmati yang terbaik tidak selalu murah. Dan kopi ini, dalam segala kesederhanaannya, tetap jadi favorit saya.
Setiap tegukan Berontoseno adalah pengingat bahwa kenikmatan hidup sering kali ada di hal-hal kecil yang sederhana.
Jadi, selama kopi ini masih ada di pasaran, saya akan tetap setia. Entah berapa pun harganya, selama masih masuk akal.
Karena, seperti kopi Berontoseno yang mengisi pagi saya dengan hangat, mungkin hidup juga hanya butuh rasa yang pas.