Kabar Baik (dan Buruk) dari Dispusip Kabupaten Blitar




Jon Blitar menelepon jika Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispusip) Kabupaten Blitar, Dr. Jumali, ngajak ngopi para pegiat Suara Sastra.


Bromfiets Cafe di Jalan Raya Dandong, Srengat, menjadi lokasinya. Saya datang terlambat karena harus menerobos hujan di area Kademangan (4/11/24).


Setibanya di lokasi, Pak Jumali sedang berbicara, samar terdengar, beradu dengan deru suara kendaraan. 


Kafe ini persis di pinggir jalan raya utama. Bergaya vintage, terutama bagian dalamnya, ada dua koper besar dan sederet asesoris ruangan jaman dulu.


"Saya dan Pak Maman kena apes sebenarnya," tutur beliau.


Lah, sambil menjelaskan jika pembangunan gedung Perpustakaan 10 M itu sementara dihentikan karena progres pengerjaan yang tidak sesuai target.


Mimpi untuk bisa lekas merasakan gedung Perpustakaan megah 10 M sementara ditunda dulu. Para aktivis literasi harap bersabar.



Pak Maman Soekrisno, kepala bidang Perpustakaan menjelaskan jika nantinya pembangunan dilanjutkan, maka menggunakan anggaran DAU (dana alokasi umum).


Sebelumnya, pembangunan gedung tersebut mendapatkan dana alokasi khusus (DAK). Namun karena "apes" pihak pelaksana tidak bisa mengerjakan sesuai target, maka dihentikan.


Padahal untuk mendapatkan DAK tidaklah mudah. Sungguh tidak mudah.


Sementara DAU, alokasinya adalah wewenang Pemerintah Daerah, teruntuk pembangunan Perpustakaan perlu disuarakan agar menjadi prioritas.


Itu masuk kategori kabar buruk. Mari beralih ke kabar baiknya.


Buku antologi puisi Suara Sastra edisi ke-2 akan lekas diterbitkan, dana untuk cetak sudah tersedia. Voting cover telah dilakukan.


Selanjutnya, membahas bagaimana peluncurannya kelak, dikemas seperti apa, akankah seperti tahun lalu, yang simpel namun eksklusif?


Rencana, akan menggunakan gedung baru (yang belum jadi) di desain menjadi arena perayaan akhir tahun.


Bukankah bangunan belum jadi adalah konsep kafe-kafe yang sedang hits?


Gedung yang belum selesai dibangun (mungkin) menjadi ruang imajinasi bagi para aktivis literasi.


Kata Seto Parama, karya seni yang tak selesai justru memberi ruang bagi penikmat seni untuk menafsirkannya.


Apakah para aktivis literasi lingkar Suara Sastra adalah (juga) penikmat karya seni?


Tabik,

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak