Nisa tidak pernah membayangkan hidupnya berubah drastis.
Lima tahun pernikahan dengan Aris, suaminya, terasa seperti mimpi indah yang perlahan memudar menjadi mimpi buruk.
Kehidupan keluarga kecil mereka, yang semula harmonis dengan hadirnya putri mereka, Raya, berbalik arah saat Rani, adik Nisa, datang tinggal bersama mereka.
Awalnya, kehadiran Rani adalah bagian dari tanggung jawab keluarga.
Ibu mereka meminta Nisa membantu Rani yang baru saja lulus kuliah dan sedang mencari pekerjaan di kota.
Nisa, yang selalu percaya pada adiknya, membuka pintu rumahnya tanpa ragu.
Tapi dia tak pernah menduga, kehadiran Rani akan membawa badai besar ke dalam keluarganya.
Aris, yang selama ini dikenal sebagai suami penyayang, mulai berubah.
Tatapannya yang lembut untuk Nisa perlahan memudar. Dia menjadi dingin dan jarang pulang tepat waktu.
Perubahan itu memicu kecurigaan Nisa, meskipun dia berusaha menyangkal pikirannya sendiri.
Sampai akhirnya, saat membersihkan meja kerja Aris, Nisa menemukan sebuah pesan di ponselnya.
"Aku rindu," tulis pesan itu. Pesannya dari Rani.
Hati Nisa hancur. Dia konfrontasi langsung Aris dan Rani pada malam itu.
Air mata dan amarah bercampur, membanjiri ruang tamu mereka.
Aris tidak membantah, dan Rani hanya terdiam dengan kepala tertunduk.
"Aku mempercayai kalian!" teriak Nisa dengan suara yang bergetar.
"Bagaimana kalian tega menghancurkan keluarga ini?"
Rani menangis, meminta maaf, tetapi Nisa tahu, tak ada kata-kata yang bisa memperbaiki apa yang telah terjadi.
Malam itu, Nisa memutuskan untuk meninggalkan Aris dan Rani. Dia mengemasi barang-barangnya dan membawa Raya pergi ke rumah orang tuanya.
Hari-hari setelah itu penuh perjuangan bagi Nisa. Dia harus membangun hidupnya kembali sambil merawat Raya seorang diri.
Untungnya, bisnis kuenya berkembang pesat, memberikan stabilitas finansial yang dia butuhkan.
Di sisi lain, Aris kehilangan pekerjaannya sebagai dosen setelah berita perselingkuhan itu menyebar.
Dia memilih mendalami agama, mencoba menebus kesalahan yang telah dia perbuat.
Rani, yang kini mengandung anak Aris, menjalani hidup terpisah dari semua orang.
Tidak ada lagi hubungan antara dia dan Nisa, atau bahkan Aris.
Rasa bersalah yang membebaninya membuatnya menjauh, memilih untuk hidup dalam penebusan pribadi.
Setahun berlalu, Nisa mendengar kabar bahwa Aris ingin meminta maaf padanya.
Di sebuah masjid, mereka bertemu. Aris tampak jauh lebih tenang dan penuh penyesalan.
"Aku tahu, aku tak pantas mendapatkan pengampunanmu," kata Aris pelan.
"Tapi aku ingin kamu tahu, aku menyesal. Sangat menyesal."
Nisa menatapnya. Di matanya, ada kepedihan yang mendalam, tetapi juga ada ketegaran.
"Maaf, Aris. Aku memaafkanmu, tapi aku tidak akan pernah melupakan. Hidupku dan Raya sudah baik-baik saja sekarang, dan itu cukup bagiku."
Mereka berpisah dengan keheningan. Di dalam hatinya, Nisa merasa lega.
Beban itu akhirnya terangkat, meskipun luka itu akan selalu meninggalkan bekas.
Dan hidup pun terus berjalan. Nisa menemukan kekuatan dalam perannya sebagai ibu tunggal, sementara Aris terus mencari kedamaian dalam imannya.
Rani, di tempat yang jauh, membesarkan anaknya dengan harapan agar masa depannya tak terulang seperti masa lalunya.
Kadang, kehancuran adalah cara hidup memberi kesempatan untuk memulai lagi. []
*cerita fiksi interpretasi film Ipar adalah Maut