Mereka yang Ke Perpustakaan Namun Tidak untuk Membaca Buku



Dua gelas Mojito tersaji di meja ketika perbincangan kami masuk pada topik "nasib buku dan perpustakaan."


Si penanya yang lebih suka kentang goreng dibanding roti bakar manis itu, menyoal soal "pesimisme" ku sebagai aktivis literasi.


Termasuk menyoal: kok aktivis literasi tak punya rumah baca? Padahal ada jaringan yang bisa diakses.


Pesananku, Tubruk Robusta sudah tersaji lebih awal dan mulai dingin.


Aku jarang di rumah, jawabku selepas mengeletak potongan kecil kentang goreng krispi.


Lagian siapa yang masih membaca buku? Lanjutku. 


Ini bukan pesimisme, ini realitas, dan realitas terikat dengan konteks, kondisi sosial tempatku berada.


Dan itu sebuah pertanyaan, bukan statement. Semacam sikap skeptis.


Aku punya beberapa buku, tak banyak, sekitar ratusan, 60 di antaranya sudah kusumbangkan, beberapa lusin dipinjam dan (mungkin) tak kembali.


Sisanya berdebu di atas meja kayu, sisanya lagi tersimpan rapi di dalam lemari, dan teramat jarang dibuka.


Semua keperluan bacaan, entah untuk kepentingan ngonten, bikin analisis, memperkaya sumber, sudah ada di ponsel.


Lewat situs-situs journal ilmiah, website opini, aplikasi IPusnas, dan sekarang diserbu AI.


Jika rumahku yang kecil itu kedatangan buku lagi, pasti harus menyediakan raknya, dan ... belum tentu dibaca. Bakal kewalahan.


Kalaupun lahir taman baca, siapa yang mau mengedarkan, merawatnya, sebab aku lebih sering di luar rumah, dan kalaupun di rumah, lebih suka rebahan sambil dengerin musik, podcast atau menonton film.


Meski, aku masih rutin membaca, minimal 5 menit sehari, sebelum tidur, dan bahan bacaan lebih sering dari aplikasi IPusnas.


Sudah beberapa bulan juga aku tak ke Perpustakaan Bung Karno. Dulu rutin setiap Jumat. Kartu anggota sudah lama tak dimanfaatkan, apalagi pinjem di IPusnas juga tanpa kartu.


Jadi siapa yang pesimis? tanyaku balik pada dua orang penyuka Mojito itu.


Sama kayak pedagang ponsel yang menjual Nokia 3315, sementara pasar sudah dikuasai Android, khususnya Redmi yang merangsek naik menggeser Oppo dan Samsung.


Alat komunikasinya tetap dibutuhkan, hanya model dan kemasannya sudah berbeda. Gaya hidup manusia telah berubah.


Lagipula, sebagai aktivis literasi, aku lebih tertarik pada urusan menulis, bukan mengoleksi buku. Sejak dari ikut mendirikan FLP di Blitar, mengadakan bincang buku di Komunitas Muara Baca, hingga dikukuhkan Bupati sebagai aktivis GPMB.


Di Perpustakaan Daerah, aku juga lebih menyukai acara-acara seperti pembacaan puisi, monolog, bermusik, dan aspek literasi lain yang bisa dikulik.


Misalnya, beberapa orang datang ke Perpustakaan tiap dua pekan sekali, dan apakah mereka akan meminjam dan membaca buku?


Setahuku tidak, atau teramat jarang. Mereka lebih suka duduk melingkar, menikmati kopi gratis, aneka camilan dan syahdu mendengarkan yang lain berpuisi, bernyanyi, berdialektika hingga berkeluh kesah secara ilmiah. Xixixi.


Pertemuan itu dinamakan Suara Sastra, digelar dua pekan sekali.



***


Tak banyak lagi yang pergi ke Perpustakaan untuk membaca buku, sebagian besar karena ada program pengiringnya. Seperti Suara Sastra, Pelatihan Literasi Inklusi dan semacamnya.


Lalu, siapa yang pesimis? Kalau realitas telah menyajikan ponsel android yang lebih terjangkau dan multifungsi, sementara tuan bertahan dengan ponsel polyponic yang vintageable, ya ndak papa.


Asalkan tujuannya sama-sama meningkatkan literasi, menjadi generasi literat. Suwun.


Ahmad Fahrizal A.

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak