Tidak semua yang berada pada payung Muhammadiyah bisa disebut kader. Kader punya definisinya sendiri:
Pertama, dia mau masuk ke dalam struktural, baik menjadi pimpinan atau unsur pembantu pimpinan, termasuk ke dalam struktural organisasi otonom.
Kedua, dia mau bergerak aktif dalam struktural tersebut, tidak sekadar melampirkan nama pada selembar SK.
Aktif bisa diartikan: mengelola segala urusan organisasi, mulai dari yang bersifat seremonial atau kegiatan yang telah dirapatkan menjadi program kerja.
Urusan organisasi di dalamnya, juga tak terlepas dari masalah-masalah yang menyertainya, yang kadang pelik.
Misal, bagaimana mengaktifkan anggota yang tidak aktif, bagaimana membuat kegiatan agar menarik minat, jatuh bangun menjadi panitia kegiatan, mengurusi sengketa internal maupun eksternal bila terjadi, dan seterusnya.
Kader terbiasa dipasrahi beban organisasi, yang kadang tidak mudah penyelesaiannya.
Di sisi lain, kader juga terjebak rasa sungkan luar biasa ketika harus, misalnya, minta rekomendasi untuk lanjut kuliah.
Sungkan karena merasa memanfaatkan posisi kadernya untuk mendapatkan selembar surat ajaib tersebut.
Padahal banyak orang melakukannya hanya dengan cukup mendaku diri Muhammadiyah, dan tak ada rasa sungkan.
Tak hanya itu, kadang kader juga tak enak jika harus bekerja di Amal Usaha Muhammadiyah, minta rekom PCM setempat pun perlu mikir berkali-kali.
Ketika masuk dan diterima pun, juga ada sangkaan: pantas bisa masuk, kan kader, kenal dekat pimpinan Muhammadiyah.
Belum lagi ada dikotomi karyawan kader dan karyawan profesional. Dikira kader bisa masuk bekerja karena lobi orang dalam, dan yang bukan kader diterima melalui proses seleksi ketat sehingga dianggap profesional.
Banyak kader yang kemudian enggan bekerja di AUM karena khawatir rasa cintanya dengan Muhammadiyah dianggap palsu, sebatas ingin mendapat posisi di AUM.
Padahal bisa jadi, kader itulah yang menjaga AUM agar tetap punya sumbangsih ke Muhammadiyah, dan tidak lepas dari Muhammadiyah, minimal secara historis dan ideologis.
Karyawan non kader tak peduli bagaimana nasib ortom-ortom Muhammadiyah, mau mati, atau vakum. Namun kader akan selalu memikirkan itu.
Bagaimana agar organisasinya tetap hidup, apalagi di daerah tersebut punya AUM jumbo bahkan super jumbo yang salah satunya untuk menyuplai eksistensi gerakan.
Hanya kader yang memikirkan sekaligus bertindak untuk mewujudkan itu, bukan lainnya. Sekali lagi, hanya kader.
Filosofi melepas
Namun sejak didirikan, sudah ada "filosofi melepas" di dalam Muhammadiyah, termasuk alasan kenapa KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi, bukan yayasan atau lembaga pribadi milik keluarga layaknya Kyai tradisional di Jawa.
Kalaupun ada yayasan KH. Ahmad Dahlan di langgar kidul, itu adalah inisiatif Pemkot Yogyakarta untuk merawat heritage yang berkaitan dengan KH. Ahmad Dahlan.
Artinya, sebelum memutuskan diri menjadi kader Muhammadiyah, niat harus ditata sedemikian mungkin bahwa:
Kita hanya bagian dari mesin dakwah Muhammadiyah, dan memilih kendaraan ini karena kesamaan pandangan.
Segala aset dan eksistensi adalah milik persyarikatan, sekalipun kita mungkin--sedikit banyak--ikut punya andil di dalamnya, dulu atau sekarang.
Bahwa sesungguhnya, sekali lagi, bukan kita yang membesarkan organisasi, tapi kita tumbuh seiring bersamanya.
Agar tak merasa paling berjasa dan merasa paling punya andil hanya karena pernah menjadi kader, dan mungkin akan terus menjadi kader hingga akhir hayat.
Perasaan-perasaan yang kerap kali hinggap dan menjangkiti kemurnian hati, atau sebaiknya berhenti saja menjadi kader.
Kita masih bisa jadi simpatisan, jadi jamaah Masjid, jadi warga Muhammadiyah dengan konsisten mengamalkan putusan tarjih.
Kita masih tetap bisa menjadi Muhammadiyah dengan segala rupa bentuknya, tanpa perlu melibatkan diri pada urusan-urusan struktural.
Atau tetap menjadi kader dengan syarat mepertebal rasa ikhlas dan sikap legowo, dan mungkin disitulah aspek riyadah, praktek tazkiyatun nafs, cara Tuhan mendidik kita menjadi manusia.
Tabik,
Ahmad Fahrizal A.