*Refleksi Milad IMM
Selepas mengikuti DAD Pada November 2009 silam, saya menyandang identitas baru sebagai "orang Muhammadiyah", pintu masuknya melalui Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.
Sebelum ikut DAD, identitas itu belum ada, belum bisa mendaku sebagai warga, simpatisan, atau malah kader Muhammadiyah.
Itu adalah identitas baru, benar-benar baru, setelah dikukuhkan dan dinyatakan lulus DAD, bahkan didaulat menjadi ketua alumni DAD.
Para senior berdiri melingkar dan serentak bernyanyi:
Selamat datang wahai pejuang mudaDalam IMM kita maju bersamaUkir sejarah membelah cakrawalaKita berjuang untuk nusa dan bangsaHarapan bangsa ada di pundak kitaSebagai kader muda muhammadiyahJadi tumpuan wahai kau tunas mudaMenepis kabut menguak fenomenaRaihlah cita – citaMembangun nusa bangsaMari kita belajar, beramal dan berjuangHarapan umat IslamTuk menuju cita – citanya
***
Esok dan seterusnya, identitas sebagai kader Muhammadiyah itu terus melekat.
Di kelas, di Ma'had, di komunitas, dan dalam pergaulan, ada identitas baru yang tersemat secara informal.
Saat Pemilu Raya Kampus, foto yang terpasang pun berjaket IMM, beberapa bulan kemudian, setelah mengikuti follow up DAD, kartu anggota IMM dibagikan. Sah dan legitimate menjadi kader Muhammadiyah.
Tahun berikutnya, mendapat amanah sebagai sekretaris bidang keilmuan komisariat, menggelar kegiatan demi kegiatan.
Tahun berikutnya lagi, naik menjadi Kabid keilmuan, lalu naik ke tingkat cabang menjadi sekbid Media dan kemudian kabid keilmuan yang berganti nama menjadi Riset dan Pengembangan Keilmuan.
Menghadiri undangan dan workshop mewakili IMM, menulis opini di koran dengan keterangan di bawahnya: aktivis IMM.
Mengikuti segala jenis perkaderan tambahan, Baitul Arqam, Latihan Instruktur, Darul Arqam Madya, dan lain sebagainya.
Bahkan identitas tersebut menjadi ciri khas dalam perilaku: oh pantesan, kamu Muhammadiyah ya.
Identitas sebagai kader Muhammadiyah semakin terpahat kuat, tak bisa dihindari, dan sejauh ini berjalan beriringan.
Seperti, sikap Muhammadiyah dalam politik, keberpihakan pada kaum tertindas, pandangan terkait budaya, ibadah amaliyah yang cenderung simpel dan mudah diikuti.
Tak ada pertentangan, meski sebagai Muhammadiyah anyaran, yang ketemu di jalan, bukan dilahirkan dari rahim aktivis Muhammadiyah.
Secara hati, pikiran, dan ideologi, memang cocok di Muhammadiyah, apalagi setelah menyelami sejarahnya, membaca kiprah pendirinya, mengamati sikap-sikap para tokohnya.
Ya, sepertinya ini "gue banget." Meski bukan tanpa pertentangan.
Muhammadiyah sebagai ide, sebagai teks organisasi, dan sebagai realitas, tidak selalu berjalan linier. Apalagi di tingkat daerah, cabang, dan ranting.
Realitas tak sesempurna teks-teks ideal, namun ide memandu ke arah sana.
Sejak berdiri, Muhammadiyah telah melawan arus besar, yang kemudian mampu menciptakan arusnya sendiri.
Sebagai "proyek amal" Kyai Dahlan dan murid-muridnya, Muhammadiyah telah menjadi gelombang besar yang sekarang tidak hanya menawarkan ide, namun juga keterpikatan duniawi baik secara langsung maupun tak langsung.
Setelah purna tugas di IMM, ternyata gayung bersambut hingga sekarang, suatu yang tak terencanakan.
Sepertinya, urung diperkenankan "beristirahat" dari Muhammadiyah. Beberapa teman IMM yang kembali ke kampung halamannya, atau yang saat ini menetap di lingkungan barunya, juga demikian.
Ada yang jadi ketua ranting, mengurus PCPM, menjadi kepala sekolah Muhammadiyah di usia sangat muda, bahkan ada adik kelas yang sudah menjadi sekretaris PDM.
Kader-kader IMM Malang seperti anak panah yang dilesatkan ke daerah-daerah, membawa identitas agungnya sebagai akademisi Muslim, cendekiawan muda, yang mendaku unggul dalam intelektualitas, anggun dalam moralitas.
Selamat Milad, Ikatanku. Maaf terlambat memberi ucapan.
Blitar, 16 Maret 2024
Ahmad Fahrizal Aziz
Tags:
IMM