SEMANGAT para aktivis literasi dengan penulis mungkin sedikit berbeda.
Para aktivis literasi ingin agar buku-buku mudah diakses masyarakat, secara gratis. Perpanjangan dari pemerintah yang berkewajiban menyediakan buku bacaan.
Penulis berbeda lagi, mereka yang menerbitkan buku berharap ada dukungan pasar bagi karya-karyanya.
Maka, ramainya aktivis literasi di suatu daerah tidak selalu berkorelasi dengan tingginya penjualan buku.
Hanya saja, keduanya selalu masuk daftar list aktivisme yang sama.
2019, saat Blitar kedatangan Konsorsium Penerbit Jogja yang menggelar pameran di Graha Patria, para aktivis literasi terlibat dalam pengorganisasian acara, namun mereka juga melapak.
Suatu pemandangan yang kontras ketika di dalam gedung terjadi transaki jual-beli buku, namun di luar orang bebas membaca dan meminjam.
Mendudukkan buku sebagai "benda bebas" dan "komoditas" memang tidak mudah.
Malah, orang yang tak paham kadang mengira jika lapak buku yang digelar di pusat keramaian itu diperjual belikan.
***
Aktivis literasi tak peduli siapakah yang membaca bukunya, dipinjam dan lalu tak dikembalikan.
Mereka, seperti saat saya menemui seorang pegiat Perpustakaan Pijar, mengatakan jika tragedi terbesar dalam hidup adalah ketika buku-buku tak lagi dibaca.
Bahkan mereka tak punya catatan sirkulasi buku masuk dan keluar, semua bebas untuk masyarakat.
Para aktivis literasi tersebut memiliki pandangan hidup yang unik, meskipun mereka juga disibukkan oleh rutinitas pekerjaan.
Lagipula, tak ada yang membayar mereka. Sayangnya sikap kerelawanan tak selalu mendapatkan tempat yang memadahi.
Beberapa tahun belakangan ini saya memang takjub mendengar pandangan mereka dalam banyak hal.
Lantas berpikir kenapa orang mau menjadi relawan di gang-gang sunyi?
***
Istilah literasi semakin populer ketika berita hoax juga berkembang pesat.
Ibarat penyakit dan obatnya. Hoax merusak pikiran sehat manusia, dan literasi adalah penawarnya.
Maka program literasi digaungkan sedemikian rupa dengan beragam kemasannya, termasuk literasi digital.
Pasar aktivisme pun terbuka lebar, sehingga saya--yang tak pernah menggunakan kata literasi untuk nama komunitas--pun masuk ke dalam list aktivis literasi.
Padahal literasi itu akan menyempit justru ketika "dilembagakan" atau dikemas dalam satu gerakan tertentu.
Sebab literasi itu adalah hal paling mendasar dalam bidang apapun.
Di sekolah, program literasi dikemas menjadi wajib baca buku 15 menit sebelum pelajaran dimulai.
Padahal proses pembelajaran itu sendiri adalah proses ber-literasi.
Pada praktik yang paling sederhana literasi adalah pemahaman dasar. Seseorang hendak memasak soto ayam, harus tahu apa itu soto, komposisinya, cara memasaknya hingga cara penyajiannya.
Begitupun dengan literasi yang aspeknya sangat luas, tak hanya buku. Buku adalah guide utama sebagai literature.
Saya dan teman-teman mengelola komunitas kepenulisan yang ditangkap sebagian orang sebagai komunitas hobi.
Ya, sebatas hobi yang bisa ditinggalkan kapanpun dan akan dilakukan seperlunya, sebagai hiburan.
Padahal menulis melibatkan banyak aspek kognitif, dan itu bukan kerja yang mudah.
Sekilas saya juga merasakan apa yang mungkin para aktivis literasi lain rasakan, yaitu pemahaman orang yang tak begitu utuh terkait literasi itu sendiri.
Atau jangan-jangan saya pun juga hanya memahami potongannya, dan lantas menikmati sebutan sebagai aktivis literasi.
Hidup yang tidak dipahami akan menciptakan kesepiannya sendiri.
Kesulitan kita menjelaskan apa itu literasi dan kesulitan orang memahami sisi praktisnya, telah membuat gerakan literasi terus berada di gang-gang sunyi.
Bukan jalan utama, apalagi jalan protokol. Mungkin baru ramai ketika orang mencari jalan pintas saat ada pawai dan karnaval. []
Blitar, 26 Juli 2022
Ahmad Fahrizal Aziz