"Lain kali kalau ada acara komunikasinya harus jelas."
Itulah kalimat yang saya ingat dari Pak Mustofa, Guru Olahraga MAN Kota Blitar yang juga Waka Kesiswaan kala itu.
Sekitar tahun 2007, saya menjadi ketua pelaksana (ketupel) diklat Jurnalistik. Itu adalah kali pertama saya terlibat kepanitiaan dan langsung menjadi ketua pelaksana.
Kegiatan diklat Jurnalistik dimulai dari Sabtu siang, berlanjut hari Ahad dari pagi sampai sore.
Namun, surat permohonan untuk membuka acara, yang sedianya diajukan ke kepala sekolah, belum dikirimkan.
Saya kira, proposal dan surat permohanan dana itu sudah "cukup" mewakili sebab toh ada tanda tangan Waka Kesiswaan dan Kepala Sekolah juga.
Sabtu pagi surat dikirimkan ke kepala sekolah, namun beliau sedang ada agenda di luar sekolah. Padahal pembukaan diklatnya Sabtu siang.
Akhirnya menghadap ke Pak Mustofa, Waka Kesiswaan.
"Kok baru diajukan suratnya?" tanya beliau.
Biasanya, surat dikirim dahulu ke kepala sekolah, jika ada halangan baru kepala sekolah mendelegasikan ke waka atau guru terkait.
"Ini sudah keliru prosedurnya," lanjut beliau.
Suasana itu begitu mencekam, agak takut, dan apalagi Pak Tofa--panggilan akrab kami--terkenal disiplin dan strong face.
Singkat cerita, beliau tetap menghadiri pembukaan diklat tersebut disela mengajar kelas olahraga.
Jam olahraga untuk kelas XII diubah jadwalnya menjadi siang hari karena paginya diperbanyak porsi mata pelajaran yang masuk Ujian Nasional.
Namun, setelah pembukaan itu, di luar ruangan, Pak Tofa langsung memberi wejangan, tidak dengan nada tinggi, namun kesan beliau yang strong face itu membuat suasana menjadi tegang.
Saya setengah dimarahi, begitupun dengan ketua ekstrakurikuler Jurnalistik.
Tidak hanya soal surat tersebut, namun soal acara diklat secara umum yang belum dikomunikasikan, dan saya sendiri selaku ketupel memang belum menghadap ke beliau untuk menjelaskan bagaimana diklatnya, siapa narasumbernya, berapa pesertanya dll.
Moment itu sangat membekas, sebab itulah kali pertama saya menjadi ketua pelaksana dan harus memikul tanggung jawab besar.
###
Pada pemilihan ketua ekstrakurikuler berikutnya, saya terpilih menjadi ketua. Otomatis akan lebih sering "berurusan" dengan Waka kesiswaan.
Pak Tofa secara khusus memanggil saya, menjelaskan masalah ekstrakurikuler Jurnalistik periode sebelumnya, terkait majalah yang pernah dicetak dobel dua, satu kecil satu besar tipis hingga sengkarut persoalan yang menyertainya.
"Jangan diulangi lagi," tegasnya.
Ternyata ada banyak PR ekstrakurikuler Jurnalistik saat itu, sehingga kepengurusan berikutnya benar-benar dipantau.
Tapi jika saya merenungi lagi (sekarang ini), betapa cukup perhatiannya beliau dengan ekstrakurikuler Jurnalistik.
Sebagai Waka Kesiswaan, beliau menjadi pembimbing (diluar pembina) semua ekskul, termasuk OSIS. Namun atensi pada ekstrakurikuler Jurnalistik sepertinya cukup besar.
Nama Pak Tofa juga ditulis sebagai pembimbing di Majalah An Natiq dan Buletin As-Shidiq, dua dari 4 produk ekstrakurikuler Jurnalistik.
Pak Tofa, saat itu, memang terkesan galak. Saya membahasakannya strong face. Apalagi pada hari Senin, waktunya upacara bendera. Beliau lah yang "menangani" siswa bandel yang sulit diatur.
Sebagai Waka Kesiswaan beliau juga menangani siswa-siswa bermasalah, kerjaan beliau sangat banyak dan berat.
Beliau bercerita bahwa mengurusi siswa bandel itu adalah hal biasa, sebab beliau juga mengajar di salah satu SMK yang saat itu oknum siswanya banyak yang terlibat tawuran dengan SMK lain.
Kisah tawuran dua SMK itu menjadi cerita legendaris tersendiri pada eranya. Sekarang, sepertinya sudah tidak lagi.
###
Ada dua jenis siswa yang berurusan dengan beliau, yaitu yang bermasalah dan yang aktif berorganisasi.
Mereka yang aktif berorganisasi dianggap siswa plus karena memiliki prestasi di bidang non akademik.
Meski saya kadang disindir karena terlalu sering terlambat. Ketua jurnalis kok sering terlambat, sindir beliau tetap dengan strong face-nya.
Memang rekor keterlambatan saya cukup parah, awal kelas XII saja 9 kali terlambat di semester I.
Kadang-kadang saya merenungkan sosok Pak Tofa ini terlihat killer, tapi juga humoris. Apalagi saat anjangsana ke rumah beliau pas lebaran, kesan killer justru tak tampak.
Namun beliau memang terkenal disiplin, mungkin guru paling getol menerapkan kedisiplinan.
Dibalik strong face-nya kadang-kadang beliau memuji juga, kalau aktif di organisasi itu meskipun sering kena marah tapi guru-guru menyukai siswa yang aktif, dan mengekspresikan masa mudanya lewat berkarya. Itu hal positif.
Bisa dibilang saat itu Jurnalistik adalah ekskul yang super sibuk karena mengelola 4 Fak sekaligus yaitu Majalah, Buletin, Mading dan Broadcast.
Kadang pada event tertentu, Pak Tofa memanggil ketua ekskul lewat radio sekolah.
Moment itu selalu saya ingat sebab didengar oleh seluruh warga sekolah dan rasanya seperti orang penting saja dipanggil lewat radio sekolah.
Misalnya, ketika HUT Kota Blitar dan ada karnaval, ekskul Jurnalistik diminta meliput sejak start di depan alun-alun. Bahkan pernah bertemu dan berfoto bersama Walikota Djarot Saiful Hidayat.
Pak Tofa juga kadang ingin melihat draft majalah sekolah sebelum dicetak.
Semua itu jadi ingatan yang membekas. Mulai dari dimarahi, dipuji, dipanggil khusus untuk suatu tugas dan lain sebagainya.
Waktu beredar kabar beliau berpulang, ingatan itu pun menyeruak kembali. Lama sekali tak berjumpa beliau, terakhir mungkin ketika lebaran setelah saya lulus Aliyah.
Beliau lebih dari sekadar guru formal, mendidik dengan penuh kedisiplinan, khususnya dalam mengelola organisasi.
Mungkin saya termasuk yang beruntung pernah "dimarahi" oleh beliau. Al Fatihah. []
Malang, 10 Juni 2022
Ahmad Fahrizal A.
Menulis obituari bukan untuk meratapi kepergian, namun untuk mengenangan sekaligus merayakan kehidupan yang pernah ada. Baca obituari lainnya KLIK DISINI