Bagaimana Jika Buku Terbit Tanpa ISBN?

Sebagian buku di kamarku. Dok/pri


Waktu sekolah, saya pernah mendapat tugas mereview novel, salah satu syaratnya novel tersebut harus sudah ber-ISBN.

Tidak sulit menemukan novel ber-ISBN, karena rata-rata buku yang ada di rak perpustakaan memang sudah ber-ISBN.

Namun tak terpikir untuk menanyakan kepada guru, kenapa harus ber-ISBN? dan apakah ada buku yang tidak ber-ISBN? Lalu apa keunggulan buku yang ber-ISBN? Pikiran saya belum sampai kesana.

Baru setelah terjun ke dunia kepenulisan, termasuk diantaranya mengurusi penerbitan buku, sedikit paham maksud dari ISBN, yaitu semacam nomor standar, namun berlaku secara international.

Dalam pengajuan ISBN pun, hanya diperlukan persyaratan administratif terkait lembaga yang mengajukan (baik negara atau swasta) berupa formulir, dokumen legalitas hukum dan draft naskah mulai dari judul, halaman judul, daftar isi dan kata pengantar.

Tidak ada kurasi atau seleksi terkait isi naskah. Artinya, mau itu hasil penelitian, novel, kumpulan puisi, antologi diary dan lain-lain, selama penerbit tersebut sudah terdaftar di Perpusnas karena berhasil lolos persyaratan administrasi, bisa dengan mudah mengakses ISBN.

Artinya, buku yang ber-ISBN tidak mencerminkan kualitasnya, hanya menjadi lebih sakral dan lebih punya nilai untuk kepentingan akademik, atau sekadar kredit poin.

Penulis yang mendirikan Penerbitan


Belakangan, kita juga menemukan fakta semakin banyaknya yang mendirikan penerbitan, terutama para penulis, apalagi di era digital ketika penjualan bisa dilakukan via sosial media atau aplikasi jual-beli.

Era digital membawa kebiasaan baru dalam jual-beli. Toko buku jadi terlihat kuno (old school), dan terkesan lebih mahal dibanding buku di lapak-lapak online.

Para penulis yang akhirnya mendirikan penerbitan sendiri dan memasarkan bukunya sendiri, melihat prospek ekonomi yang lebih baik. Mereka bisa mengontrol royaltinya sendiri, dengan memberi harga yang lebih murah.

Maka ada kategori penerbit mayor dan indie. Penerbit mayor untuk mengidentifikasi penerbit yang punya rantai distribusi besar dan mencetak minimal seribu eksemplar untuk dipajang di toko buku yang menjadi jaringan bisnisnya.

Hanya saja, harga bukunya jadi mahal. Buku yang biaya cetaknya per eksemplar Rp20.000,- misalnya, bisa dijual Rp60.000,- bahkan Rp70.000,- karena menghitung biaya distribusi, bagi hasil penerbit dan toko buku, belum lagi pajak dan sebagainya.

Sementara, jika langsung dari penerbit, penulis bisa menjual separuhnya plus biaya ongkir untuk pengiriman luar daerah.

Atau kalaupun dijual dengan harga sama, demi menjaga harga pasar, keuntungan besar pun tetap kembali ke penulis dan penerbit.

Bedanya, buku yang diterbitkan sendiri tidak akan muncul di rak-rak atau etalase toko buku, hanya tersedia di sosial media atau aplikasi jual beli yang bisa dimanfaatkan secara gratis oleh penulis/penerbit.

Perlahan orang juga menyadari jika mendirikan penerbitan atau lembaga berbadan hukum sebagai prasyarat mengakses ISBN itu tidaklah sulit. Biayanya pun tak begitu mahal.

Euforia menerbitkan buku


Karena itu euforia menerbitkan buku mewabah kemana-mana, termasuk komunitas yang saya ikuti: Forum Lingkar Pena (FLP).

FLP adalah komunitas struktural mulai dari tingkat pusat, wilayah, cabang, hingga ranting. Bayangkan saja, jika per wilayah atau cabang menerbitkan buku, belum lagi buku solo karya anggotanya.

Kini siapapun bisa menerbitkan buku, meski tidak untuk dijual. Misalnya mereka yang mencetak beberapa eksemplar yang dikenal dengan istilah POD (Paper on demand).

Jadi, buku yang terbit bisa hanya dicetak 10, 20, 50, 100, atau 200 eksemplar. Tetapi meski hanya dicetak sekian, tetap bergengsi karena sudah ber-ISBN.

Artinya, di zaman "euforia menerbitkan buku", ISBN jadi salah satu daya tarik dan motivasi tersendiri. Karena dengan ber-ISBN, buku tersebut bersanding dengan buku-buku lain, termasuk dari penulis terkenal, di katalog Perpustakaan Nasional.

Sementara, lembaga yang mengajukan ISBN itu banyak sekali, termasuk lembaga milik negara dan lembaga pemerintah.

Saya misalnya pernah mengurus ISBN untuk 3 buku yang diterbitkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Blitar.

KPU adalah lembaga negara yang ada mulai dari tingkat pusat, provinsi hingga kota dan kabupaten. Jumlahnya pun sebanyak jumlah provinsi plus kota dan kabupaten di Indonesia.

Bayangkan, jika seluruh KPU se-Indonesia menerbitkan buku dan mengajukan ISBN, padahal nomor ISBN ternyata terbatas dan ada limitnya. Apalagi jika mengajukan lebih dari 1 buku seperti KPU Kota Blitar.

Belum Kementerian, Perguruan Tinggi, hingga penerbit swasta baik mayor ataupun indie yang jumlahnya tak karuan banyaknya.

ISBN tidak hanya buku cetak


ISBN didapat sebelum buku dicetak, dan tidak semua buku yang mendapatkan ISBN akhirnya juga dicetak, ada yang berbentuk e-book.

Kita semua mengira jika ISBN itu unlimited, toh hanya nomor, tapi ternyata tidak. ISBN ada limitnya, karena pihak yang menerbitkan ISBN bukan Perpusnas, namun kerjasama dengan International ISBN Agency.

Baru kita tahu jika ISBN pun ada agencynya, dan selama ini Perpusnas hanya pihak yang bekerjasama untuk bisa memberi pelayanan tersebut. Bahkan nomor ISBN pun ada batasnya atau dibatasi.

Lalu, bagaimana jika pemberian ISBN hanya dibatasi misal, untuk penerbit tertentu dengan minimal cetak tertentu?

Bagaimana dengan mereka yang kadung berbahagia dengan kemudahan mendapat ISBN selama ini? Pasti akan patah hati, bukan?

Meskipun masih bisa menerbitkan buku, namun tanpa ISBN rasanya akan hambar. Belum lagi untuk kepentingan akademik.

Lagipula, seberapa sakralnya ISBN terhadap sebuah buku, selain hanya mendukung data katalog? Mungkinkah Perpusnas membuat lembaga sendiri sebagai "ISBN" level nasional, bisa bernama "NSBN".

Atau mungkinkah kita sudah bergantung pada ISBN? Ya, padahal selama ini ISBN bukan ukuran standar kualitas buku, tapi buku ber-ISBN jadi punya gengsi tersendiri.

Kalau memang ISBN dibatasi, terbitkan saja NSBN yang bisa dikontrol dalam negeri, daripada mematahkan hati banyak penulis yang lagi sayang-sayangnya berkarya. []

Blitar, 28 April 2022
Ahmad Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

1 Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

  1. Bisa jadi pengurusan ISBN akan berbayar, iya nggak sih? Kalau kemungkinan buruk ini terjadi semakin carut marutlah kiranya. Ide cemwrlang NSBN solusi cerdas mengurangi petah semangat para penulis baru. Entahlaj, just wait n see. What will be the next.

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak