Ahad, 16 Januari 2022
Hari Jumat, 6 Juni 2008, rapat perdana pembentukan FLP Blitar digelar. Sebuah rumah di Jalan Pandan No. 1 Kota Blitar menjadi saksinya.
Pertemuan perdana adalah perkenalan. Bang Yopi mengundang kenalannya yang sekiranya bisa menjadi panitia pendiri FLP Blitar.
Di antara yang hadir adalah Pak David, lalu Bu Vinda (ex penyiar Mayangkara), dan Mbak Gesang Sari yang menjelaskan apa itu FLP, karena dulu ia bergabung di FLP Malang saat kuliah di Unibraw.
Pada pertemuan itu juga ditentukan ketua FLP Blitar yang sekaligus menjadi ketua pelaksana pendirian FLP Blitar, yaitu Pak David.
Mohon maaf, saya lupa siapa nama lengkap Pak David, ingatan saya tentang beliau pun juga sangat terbatas.
Seingat saya beliau seorang guru, juga wiraswasta, punya usaha es krim, saat peluncuran FLP Blitar itu beliau membagikan gratis es krim ke panitia.
Pak David direkomendasikan oleh Bang Yopi dan akhirnya terpilih secara aklamasi. Jadilah beliau sebagai ketua FLP Blitar perdana secara informal/ de facto.
Seminggu kemudian, berdasarkan informasi dari Mbak Gesang Sari, sesuai AD/ART, syarat ketua FLP Cabang ternyata, minimal karyanya sudah pernah dimuat di media lokal tingkat kota/kabupaten.
Syarat minimal itu belum bisa dipenuhi Pak David karena saat beliau bergabung dengan FLP Blitar juga sekaligus memulai debut menulisnya.
Lalu siapa yang karyanya pernah dimuat di media lokal? Semua orang merujuk ke nama Mbak Gesang Sari, dan "tapuk pimpinan" diserahkan ke Mbak Gesang Sari sampai SK diturunkan secara resmi/de jure.
Seleksi alam di FLP
Awal bergabung, saya melihat betapa antusiasnya para peserta, mereka memamerkan tulisan tangan pada sebuah kertas bergaris, sebagian sudah dicetak rapi di atas kertas HVS.
Iklim berkarya itu sangat kuat, sampai menjadi semacam standar tersendiri. Mereka yang tidak lekas menunjukkan karyanya akan lekas kena mental.
Itu tahun 2008, saat 3G baru diperkenalkan, saat kamera ponsel rata-rata masih kualitas VGA, dan sebagian orang masih menyimpan berkas pada Compact Disk (CD), sedikit lebih maju dari disket, sekalipun sudah ada flash disk.
Relatif tak ada distraksi dalam obrolan terkait kepenulisan saat itu, dan orientasi kita adalah menerbitkan buku, mengirim karya ke koran, majalah dan tabloid.
Saya dan sebagian besar anggota belum punya laptop, bahkan komputer pentium sekalipun. Entah apa yang memotivasi kami untuk tetap belajar menulis saat itu, padahal belum ada perangkatnya.
Namun era bergerak cepat, 10 tahun kemudian kita mulai membiasakan diri menulis dari ponsel android, padahal saya ingat betapa bahagianya saat akhirnya bisa membeli laptop/notebook di tahun 2012. []
#kenangan
Ahmad Fahrizal Aziz
Tags:
NOSTALGIA