13 Tahun Perjalanan Komunitas Penulis Blitar
30 Agustus 2008, tepat hari Sabtu, delegasi dari berbagai daerah berdatangan ke Blitar. Sesampainya di Stasiun atau Terminal, mereka menghubungi panitia. Tim penjemput pun segera beraksi.
Satu per satu diboyong ke Panti Sosial Bina Remaja (PSBR), selatan patung Bung Karno Jalan Ahmad Yani. Di sanalah agenda bersejarah itu digelar.
Hari itu ada agenda Musyawarah Wilayah (Musywil) FLP Jawa Timur. Perwakilan FLP Cabang dari berbagai kota dan kabupaten pun berkumpul, membahas masa depan FLP Jatim, termasuk memilih ketua baru.
Terpilihlah Bu Sinta Yudisia sebagai ketua FLP Jawa Timur. Kebetulan, Bu Sinta adalah tamu utama pada rangkaian agenda di Blitar. Sehari sebelumnya, beliau menjadi narasumber di radio Mayangkara, menyambut kelahiran FLP Blitar.
Bu Sinta tidak menginap di hotel, melainkan di sebuah ruangan yang disekat dan disulap jadi kamar tidur untuk hari itu, plus dengan kasur, bantal dan sebagainya.
31 Agustus 2008, tepat hari Ahad, FLP Blitar resmi berdiri. Ketua BPP FLP Pusat, M. Irfan Hidayatullah, datang langsung dari Bandung untuk meresmikan, sekaligus menjadi salah satu narasumber Halutif (Pelatihan Menulis Kreatif) sebagai agenda pengiring pendirian FLP Blitar.
Beliau datang dengan Kereta Api, menembus jarak ratusan kilometer, lebih dari 12 jam perjalanan di dalam gerbong.
7 tahun kemudian
Sepertinya, membaca saja tidak cukup. Menurut Prof. I. Bambang Sugiharto, problem utama bangsa Indonesia bukan tidak bisa membaca, namun rendahnya kemampuan menangkap bacaan.
Berarti, memahami bacaan itu tidak mudah, tergantung tingkat intelektualitas seseorang. Karena itulah, kami tidak "berhenti" pada buku saja, namun juga menulis.
Awal 2015, sembari menikmati secangkir kopi di sebuah kafe dekat Stadion Gelora Supriyadi, saya merenungi hal tersebut.
Mereka yang melakukan aktivitas menulis otomatis akan membaca, dan membaca pun tidak hanya soal teks, tidak hanya buku, namun buku tetap menjadi "teman paling mesra".
Lalu, apa kabar FLP Blitar yang dulu sama-sama kami perjuangkan pendiriannya?
Sepanjang 2009-2014, sesekali saja saya pulang ke Blitar dan menepi di kedai kopi sembari menyelesaikan tugas ngonten. Tak terbersit sedikitpun untuk mencari tau kondisi FLP Blitar.
FLP Blitar mungkin sedang vakum, atau mungkin sudah bubar. Sebab tak ada lagi interaksi. Akhir 2013, ketika saya menyudahi amanah sebagai ketua FLP Ranting UIN Malang, memang memutuskan untuk "berhenti" dari FLP.
Hingga sebuah pesan masuk di inbox FB, dari Mbak Lilik Nuktihana yang ternyata sebagai ketua FLP Blitar pasca hijrahnya Mbak Gesang Sari ke Jakarta.
Kami menyusun pertemuan dan datang juga Pak Ahmad Saifudin. Job pertama kami bertiga adalah menjadi juri lomba menulis cerpen tingkat kota kabupaten dengan peserta para pelajar SMP dan SMA Sederajat di Graha Patria, atas undangan Alumni Gontor.
Saya unggah foto kami bertiga ke facebook dan menuliskan: puing-puing FLP Blitar.
Mbak Gesang Sari protes dan menjelaskan jika FLP Blitar tidak pernah bubar. Mungkin saya saja yang kurang perhatian. Jangan sebut puing-puing, tegasnya.
Komunitas Penulis Blitar
Di saat yang sama, konsep tentang Komunitas Penulis Blitar pun juga muncul di kepala saya. Sementara Pak Ahmad Saifuddin mengajak untuk mengaktifkan kembali FLP Blitar.
Keputusan untuk "berhenti" dari FLP pun sepertinya hanya bisa bertahan sekitar 1,5 tahun. Setelah itu, saya aktif kembali, meski tidak begitu aktif secara hirarkis organisasi. Sebagai prasyarat, saya hanya membuat NRA.
Setelah lebaran 2015, ada undangan ke Sidoarjo mewakili FLP Blitar. Semacam super trap, agenda bertajuk Silatwil itu ternyata sekaligus Musywil. Bu Sinta Yudisia, saat itu mejabat ketua BPP FLP Pusat, menodong saya untuk menjadi salah satu kandidat ketua FLP Jawa Timur.
Mungkin biar terlihat kompetitif dengan 4 calon, di antaranya Fauziyah Rachmawati, senior saya di FLP Malang.
Jelas, siapa yang siap? Forum pun secara bulat memenangkan Rafif Amir yang memang menjadi tuan rumah, sekaligus yang paling senior di antara calon lainnya.
Pertama kali saya jumpa Rafif Amir di tahun 2009. Saat itu saya masih SMA dan ia sudah akan lulus kuliah di Jember.
-00-
Kembali ke Blitar, "infrastruktur" sosial media sudah saya buat, di antaranya facebook, atas nama Komunitas Penulis Blitar.
Singkat cerita, nama itu jadi strategi marketing untuk menjaring orang-orang yang tertarik dalam dunia menulis, khususnya di Blitar raya.
Pada periode 2015 itu, bisa disebut FLP Blitar reborn. FLP Blitar kembali aktif secara organisasi dan Pak Saif menjadi ketuanya.
Program rutinan
Sejak sebelum berdiri, FLP Blitar sudah punya program rutin yang bersifat informal, yang sekarang kita sebut rutinan.
Waktu masih menjadi bakal cabang, pertemuan rutin digelar hari Jumat, lalu setelah berdiri jadi cabang, pindah ke hari Ahad. Namun kadang balik lagi ke hari Jumat.
Pertemuan tiap pekan itupun kembali aktif, sampai sekarang. Meski di masa pandemi ini lebih sering via daring.
Bagi saya, ini semacam mengobati rasa sepi. Sejak kembali ke Blitar saya seperti kehilangan "ruang dialektika".
Saat masih di Malang, forum-forum akademik tumbuh subur bahkan di luar lingkup akademik.
Di gubuk kalimetro, saya kadang mengikuti diskusi-diskusi sastra yang membahas banyak karya dari penulis-penulis besar. Saya mengenal karya Pramoedya Ananta Toer ya dari forum tersebut.
Di kedai-kedai kopi sepanjang Merjosari-Klandungan, saya juga kerap terlibat diskusi-diskusi tentang teori perubahan sosial.
Di sudut yang berbeda, diskusi filsafat juga kerap digelar. Para narasumber terlihat menikmati materi yang disampaikan, dengan penuh antusias. Pengunjung lain menyahut dengan kritis, kadang saya mengernyitkan dahi karena banyak istilah asing yang belum dipahami.
Tetapi dari situlah saya belajar "mandiri dalam berpikir", Sapere Aude, buah dari mengkaji pemikiran Immanuel Kant dan sederet filsuf besar dunia yang ide-idenya masih dikaji hingga kini.
Dan masih banyak lagi lainnya. Meski tak selalu menghasilkan materi, kadang saya merasa punya banyak pengetahuan itu menyenangkan.
Sejak kembali ke Blitar, dunia saya seperti terlipat. Maka perpustakaan Bung Karno pun jadi tempat tujuan, bukan untuk mencari buku sebenarnya, namun itu mencari "teman bicara" yang sedikit akademis.
Akhirnya kenal Pak Budi Kastowo, Mbah Mardiono Gudel, dan jaringan pembaca lainnya.
Program rutinan komunitas penulis Blitar yang tak lain adalah FLP Blitar, menjadi satu gugus galaksi yang menjadi forum penyegarkan dahaga pengetahuan.
Pelan-pelan, saya pun juga mulai membaca karya sastra seperti puisi dan cerpen, karena bersinggungan dengan para penyair dan cerpenis.
Komunitas pun pelan-pelan juga ditata internalnya. Sistem rekruitment, kaderisasi, hingga regenerasinya mulai dikonsep lebih rapi.
Setelah 13 tahun berlalu
Di penghujung Agustus 2021, pagi hari terasa lebih dingin. Sepertinya tidak ada yang ingat tanggal milad FLP Blitar, kecuali saya. Itupun karena facebook mengingatkan soal kenangan.
Kita tidak terbiasa merayakan milad. Perayaan pertama kali terjadi setahun lalu di Omah Nandur, hadir juga Bang Yopi Yafrin--yang saya sebut sebagai pendiri--meski beliau menolaknya. Beliau lebih sebagai fasilitator.
Tahun demi tahun telah terlewati, memasuki angka 13. Wadah belajar menulis itu telah eksis lebih dari satu dekade.
Sebagian kegiatan terdokumentasi di website, facebook dan instagram. Siapapun bisa bergabung untuk belajar menulis.
Dengan menulis, orang akan membaca, merenung, melatih kemampuan berbahasa, memperkaya kosa kata. Seperti kata C. Day Lewis: kita menulis untuk memahami, bukan dipahami.
Menulis adalah proses internal untuk meluaskan sudut pandang, melihat sisi lain dari diri sendiri dan realitas. Menulis adalah bagian penting dari berliterasi.
Soal jadi terkenal, dapat honor, dan keuntungan pragmatis lainnya, hanyalah bonus, bukan?
Blitar, 8 September 2021
Ahmad Fahrizal Aziz