Sapardi dan Jarak Estetik; Jangan Menulis Ketika Sedang Marah

Foto by akun instagram pribadi Sapardi Djoko Damono

Saya sedikit memahami arti jarak ketika menjauh dari "sumber emosi".

Sumber emosi adalah obyek yang membuat kita antusias, bahagia, sedih atau marah. Obyek yang memiliki kedekatan emosional. Keluarga misalnya.

Saya baru merasakan arti keluarga ketika ada jarak. Saat harus belajar di luar kota: ada jarak puluhan kilometer yang memisahkan, ada kondisi ketika tak lagi bisa berjumpa setiap hari, apalagi saat kita atau keluarga lain sedang sakit.

Ternyata lewat jarak tersebut, kita punya cara pandang yang berbeda. Keluarga yang mungkin kita anggap sekelompok orang yang biasa kita temui setiap hari, memiliki arti lain ketika terpisah oleh jarak.

Itu karena selama ini kita tidak mampu "melihatnya" sebagai obyek, sebab kita adalah bagian dari keluarga tersebut. Kita terlalu dekat.

Karena itu juga kadang-kadang kita perlu melihat diri sendiri dari orang lain. Bukan untuk memenuhi ekspektasi publik, tapi untuk mengetahui bagaimana kita sebagai "sebuah obyek" bagi orang lain.

Perenungan itupun terjadi ketika saya menulis obituari. Kenapa saya bisa menulis obituari? Mungkin karena saya berjarak dengan obyek yang saya tulis.

Sebab, saya "tidak bisa" menulis diri sendiri. Sekadar menulis profiling mungkin bisa, namun terkesan narsis dan aneh. Barangkali itulah keterbatasan manusia atas dirinya sendiri.

Begitupun saat sedang marah, kecewa atau bahagia, sebaiknya jangan menulis dulu. Suasana pikiran harus netral dari emosi yang sedang terjadi agar kita punya jarak untuk melihatnya sebagai obyek.

Tulisan yang dibuat saat masih dikuasahi emosi cenderung akan dangkal dan aneh. Misalkan, saat sedang marah, apa yang kita tulis tak ubahnya "sampah kata-kata" yang hanya meluapkan emosi tanpa suatu nilai atau wisdom.

Karena itu penyair Sapardi Djoko Damono menyarankan agar jangan menulis puisi ketika sedang marah. Bikin jarak dulu, yang ia sebut dengan jarak estetik.

Jarak estetik adalah istilah yang dikemukakan penyair Sapardi Djoko ketika berbincang di kanal Podluck Podcast.

Tentu itu masuk akal. Jarak dibutuhkan agar kita bisa melihat sesuatu lebih luas dan mendalam, itulah energi dari sebuah tulisan.

Catatan tentang keluarga, sahabat, masa lalu, kenangan, dan sebagainya menjadi punya nilai tersendiri ketika kita melihatnya dari "kejauhan".

Seperti masa-masa sekolah, jadi punya nilai tersendiri saat kita tuangkan ke dalam tulisan, justru saat kita sudah tidak lagi berstatus siswa.

Jarak membuat kita memetik suatu nilai dari banyak hal yang sudah terjadi dan terlewati. 

Jarak juga memberikan kesadaran pada sesuatu yang sebelumnya ada dan kini telah tiada, atau sesuatu yang dekat dan kini menjauh.

Jarak menciptakan estetika. Estetik bukan pada emosi apa yang sedang kita ungkapkan, namun pada nilai hidup apa yang bisa kita ambil.

Pada tahap ini, menulis ternyata punya sisi spiritualitasnya tersendiri. Kita harus mampu menjaga jarak, bahkan dari emosi kita sendiri. []

Kedai Muara
Ahmad Fahrizal Aziz
30 Agustus 2021

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak