Masuk kuliah hingga semester 4, aku masih memanfaatkan transportasi umum. Sebulan sekali, atau 2 minggu sekali, pulang ke Blitar naik Kereta Api. Untuk menuju stasiun harus naik angkot. Jika kepancal Kereta Api, mau tak mau harus ke Terminal Gadang/Hamid Rusdi untuk naik Bus malam.
Biasa aku pulang ke Blitar Jumat malam, jadwal Kereta Api terakhir pukul 19.20. Balik ke Malang Senin pagi, jadwal Kereta pukul 04.20 subuh. Karena itu, sebisa mungkin aku mencari Jadwal kuliah siang untuk hari Senin agar tidak terlambat, karena sampai Malang biasanya pukul 08.00, belum termasuk naik angkotnya.
Itu berlangsung selama 2 tahun. Dalam perjalanan itu, hampir selalu bebarengan dengan mahasiswa lain dari lintas kampus, termasuk yang kuliah di Surabaya, mereka sudah berada di gerbong sejak sore.
Rata-rata Kereta Api tiba di Blitar antara pukul 22.00, bahkan karena ada masalah, pernah sampai di Blitar pukul 23.00.
Suasana stasiun, bau gerbong, dan bunyi sepoor menjadi begitu familiar, bahkan menyimpan memori yang penuh kenangan, terlebih suasana Kereta Api malam hari.
Baru masuk semester 5, aku membawa motor sendiri. Beat merah. Motor sangat penting untuk mobilitas, apalagi untuk orang sepertiku yang sejak SMA juga sudah naik motor. Betapa 2 tahun pertama seperti tirakat.
Selama 2 tahun "tanpa motor" di Malang sungguh perjuangan sendiri. Ke kampus jalan kaki, kemana mana jalan kaki, jika terlanjur jauh bisa naik angkot yang sekali jalan tarifnya 2.500. Dua kali naik angkot bisa beli bensin 1 liter saat itu. Dengan bensin 1 liter bisa menempuh jarak puluhan kilo.
Maka, aku putuskan semester 5 bawa motor dengan alasan lebih menghemat uang saku, apalagi banyak kegiatan atau tugas kuliah yang mengharuskan bepergian, bawa motor akan sangat membantu, bukan?
Ya, selain itu banyak agenda bisa aku ikuti. Seminar, kuliah umum, atau sekadar melepas penat dengan menyusuri jalanan Kota Malang.
Ternyata motor sangat penting bagiku, sebab pada akhirnya banyak tugas liputan, kerjaan hingga undangan kegiatan yang bisa aku penuhi. Meski kadang juga semacam ada ketergantungan, bawa motor atau tidak tergantung seberapa niatnya mengikuti kegiatan tersebut.
Beat merah adalah motorku sejak kelas XII, sebelum berganti dari Suzuki Smash 110 cc yang dijual tak lama setelah aku kecelakaan. Bagian depan motor pecah.
Beat merah jadi andalanku selama di Malang, tidak saja untuk kuliah namun untuk lebih dekat mengenal Kota Malang dan Kota Batu, menyusur banyak tempat. Bersyukur sekali bisa bawa motor setelah 2 tahun jadi pejalan kaki dan pengguna jasa transportasi umum.
Jumat, 4 Juni 2021
Ahmad Fahrizal Aziz
Tags:
NOSTALGIA