Perpustakaan menjadi tempat yang rutin saya kunjungi sejak SMA. Biasanya pada hari Jumat, sekolah pulang lebih awal karena siswa laki-laki harus Shalat Jumat. Saya tidak langsung pulang. Selepas dari Masjid, langsung ke Perpustakaan. Apalagi di Blitar berdiri perpustakaan yang sangat representatif, yaitu Perpustakaan Bung Karno.
Kegiatan itu berlanjut hingga sekarang. Setidaknya, setiap minggu sekali kami berkumpul membahas buku bacaan dan melatih kemampuan menulis melalui wadah yang bernama Forum Lingkar Pena.
Koleksi buku yang berlimpah di Perpustakaan, serta fasilitas di dalamnya, kami manfaatkan sebagai tempat diskusi dan berbagi ilmu.
Karena seringnya kami berkumpul di sana, kami pun dekat dengan pihak Perpustakaan dan sering diberi ruang untuk berkegiatan. Seperti mengadakan seminar dan pentas seni di Ampiteater.
Memanfaatkan Perpustakaan
Masyarakat bisa berkunjung ke Perpustakaan tanpa dipungut biaya sepeserpun. Baik biaya parkir, akses fasilitas, maupun meminjam buku. Saat terlambat mengembalikan pun, hanya dapat skorsing, tidak ada denda.
Ini yang membuat saya nyaman. Negara telah membangun Perpustakaan, baik skala Nasional, Provinsi maupun daerah yang disebut Perpusda (Perpustakaan Daerah), agar masyarakat memanfaatkannya sebaik mungkin.
Koleksi buku di Perpustakaan tersebut bisa diakses oleh Masyarakat umum, siapa saja, tanpa memandang latar belakang pendidikan, bahkan tanpa perlu mengenakan seragam formal. Bebas saja.
Ada ribuan buku yang disajikan pada rak-rak panjang sebagai bahan bacaan. Kadang saya berpikir, Perpustakaan memang didirikan negara agar rakyatnya jadi lebih pintar dan berwawasan, tanpa harus bayar mahal, bahkan gratis.
Perpustakaan sebenarnya adalah sumber literatur, khususnya dalam bentuk buku. Banyak buku dari beragam tema disediakan, yang mustinya dimanfaatkan oleh masyarakat.
Perpustakaan Bukan Gudang Buku
Ada yang menyebut perpustakaan adalah gudang buku, padahal sebutan itu keliru. Gudang selalu dikonotasikan tempat menyimpan barang bekas, rongsokan, atau barang yang sudah tak terpakai.
Kesan bahwa perpustakaan sebagai gudang buku seperti hanya tempat menyimpan buku tanpa ada aktivitas pengembangan budaya baca di dalamnya. Seolah terkesan bahwa pustakawan hanya sibuk menata dan merapikan buku saja.
Padahal perpustakaan adalah pusat pengembangan ilmu. Di Perpustakaan lah harusnya masyarakat mencari bahan bacaan yang bisa dia jadikan referensi untuk menjalani kehidupannya, memberikan wawasan dasar, sampai memberi inspirasi untuk berkembang.
Perpustakaan pun bisa merancang beberapa kegiatan dalam rangka membangun minat baca masyarakat.
Menghidupkan Perpustakaan
Perpustakaan tidak hanya menjadi lokasi penyimpanan buku, namun juga pusat pengembangan budaya membaca. Ini juga yang pernah saya diskusikan dalam Forum Komunitas Pembaca Aktif (FKPA) Perpustakaan Bung Karno.
Memang tidak semua Perpustakaan mendapatkan perhatian khusus dari pihak pemerintah, lebih-lebih pemerintah daerah. Salah satu bukti, minimnya pos anggaran untuk Dinas Perpustakaan dan Kearsipan.
Minimnya anggaran, membuat Perpustakaan hanya bisa memberikan layanan yang terbatas dan tidak bisa membuat inovasi program, seperti program-progam non layanan dalam rangka membangun minat baca masyarakat.
Namun beberapa kegiatan dengan budget minimal bisa dilakukan dengan melibatkan peran serta masyarakat, terutamanya pegiat literasi. Bagaimana caranya?
Pertama, Perpustakaan harus tahu kondisi masyarakat. Salah satunya, kondisi akan rendahnya minat baca buku, dibanding membaca unggahan di sosial media. Padahal, buku adalah produk unggulan perpustakaan. Masyarakat masih lebih suka mendengar. Budaya lisan masih lebih kuat dari budaya baca.
Hal ini juga yang dirasakan oleh Pustakawan di Perpustakaan Bung Karno, khususnya Pustakawan Koleksi Khusus (KK) yang menyajikan buku-buku karya Bung Karno dan atau yang berkaitan dengan Bung Karno.
Karena menurut aturan buku-buku koleksi khusus tersebut tidak boleh dipinjam dan hanya bisa baca di tempat, sementara materi bukunya cukup berat, yang perlu waktu khusus untuk bisa memahaminya, akhirnya digagaslah program bincang buku.
Program ini digerakkan oleh Komunitas, yang kami sebut Komunitas Malas Baca (kini berubah nama menjadi Komunitas Muara Baca). Tanpa berpretensi tinggi bahwa nyatanya kami dan mungkin sebagian besar masyarakat adalah tipe yang malas baca buku, namun disisi lain gelisah dengan sifat malasnya tersebut. Sehingga dicarilah jalan tengahnya.
Dalam hal ini Pustakawan punya peran strategis. Pustakawan lah yang membaca buku dan sekaligus penutur ; menceritakan isi buku serta memberikan gambaran tentang pentingnya isi buku tersebut bagi masyarakat, khususnya bagi mereka yang belum punya kebiasaan membaca buku.
Peserta diskusi juga diajak aktif untuk mengisi bincang buku. Bagi peserta yang sudah memiliki kebiasaan membaca buku, diberi ruang untuk menceritakan isi buku yang dibaca, bergantian. Sehingga, dalam sebulan bisa ada 4 buku kami bincangkan. Mereka yang malas membaca pun, dengan hadir dalam bincang tersebut, setidaknya dalam sebulan mengetahui apa isi dari 4 buku yang kita bincangkan.
Namun perlu juga diketahui bahwa tidak semua masyarakat berminat pada buku-buku bertema ideologi, politik, sejarah, filsafat dan sejenisnya. Kadang justru lebih banyak yang suka buku atau materi how to. Misal, bagaimana cara mencangkok pohon? Bagaimana hidup bahagia? Bagaimana kiat sukses berwirausaha? dan lain sebagainya.
Karena itu kajian atau diskusi buku bisa diarahkan pada buku-buku di atas, yang menjadi selera atau kebutuhan masyarakat. Bisa juga memilahnya dalam tema yang berbeda, untuk mengakomodir kebutuhan masyarakat.
Seiring waktu, berawal dari bincang buku, para peserta bisa terangsang untuk membaca sendiri. Iklim positif bertemu dengan para pembaca buku membuatnya memiliki semangat untuk mulai memiliki kebiasaan membaca buku. Karena ia sadar bahwa mendengarkan saja tidak cukup.
Kedua, Pustakawan harus menjadi sumber pengetahuan. Pustakawan adalah profesi yang mulia, sayang perannya kerap disederhanakan. Pustakawan adalah orang yang kerjanya bersinggungan langsung dengan buku, yang setiap harinya berkutat dengan katalog dan beragam literatur.
Oleh karena itu, pustakawan bisa berperan sebagai sumber pengetahuan, penutur, hingga pengisi materi bincang buku.
Pengunjung perpustakaan atau pemustaka tidak semuanya memahami katalog buku, pustakawan bisa menjadi informan, bahkan bisa menjadi teman diskusi serta memberikan masukan penting bagi pemustaka terkait literatur yang sedang dicari.
Jika iklim demikian terbangun, maka berkunjung ke perpustakaan jadi lebih asyik. Tidak saja mencari buku bacaan, namun juga momentum untuk berbincang dengan pustakawan yang mengetahui banyak referensi.
Ketiga, libatkan komunitas baca atau pegiat literasi. Misalnya, ada GPMB (Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca). GPMB harus berisi gabungan aktivis Rumah Baca atau Taman Baca Masyarakat (TBM). Bisa juga diisi oleh para pegiat Lapak Baca, bahkan Komunitas Kepenulisan.
Peran komunitas ini sangat penting dalam menghidupkan kegiatan pengembangan minat baca, bahkan dengan budget minimal. Perpustakaan daerah bisa menjadi titik sentral bertemunya para pegiat literasi berbasis komunitas masyarakat.
Komunitas inilah yang bisa menjadi mitra perpustakaan untuk menyemarakkan kegiatan membangun minat baca, seperti diskusi buku, bincang buku, menulis cerita-cerita lokal dan lain sebagainya.
Keempat, menghasilkan produk karya tulis. Perpustakaan adalah sumber referensi, termasuk referensi khas daerah tersebut. Perpustakaan juga perlu melakukan upaya publikasi.
Beberapa Perpustakaan daerah, salah satunya Perpustakaan Daerah Kota Blitar, membuat program menerbitkan buku Sejarah Lokal. Hal ini berbentuk lomba menulis atau pelatihan menulis yang tindak lanjutnya adalah menerbitkan buku. Beberapa komunitas literasi turut diundang dalam kegiatan tersebut.
Program semacam itu sangat positif karena perpustakaan ternyata bisa turut serta memperkaya khazanah literatur nasional, khususnya terkait topik-topik lokal yang belum banyak tersentuh.
Namun program ini harus bersifat inklusif, terbuka bagi masyarakat. Setidaknya, perpustakaan daerah harus menjalin relasi yang baik dengan para pegiat literasi dan penulis di daerah masing-masing, bahkan jika perlu Perpusda memiliki data siapa saja penulis di daerahnya. Peran penulis di daerah ini akan memudahkan program publikasi karena mereka memiliki skill menulis yang baik.
Kenapa harus kegiatan menulis? Mereka yang melakukan kegiatan menulis, secara otomatis pasti memiliki kebiasaan membaca. Terutama membaca untuk memperkaya referensi atas tulisan yang sedang dibuat.
Selain itu, kemampuan menulis sangat ditopang oleh kebiasaan membaca. Setiap penulis sudah pasti adalah seorang pembaca. Maka kegiatan kepenulisan perlu digalakkan karena bisa sekaligus menyokong minat baca. Semakin banyak yang menulis, budaya membaca itu juga akan tumbuh dengan sendirinya.
Kegiatan menulis juga bisa diarahkan pada penulisan resensi atau sekadar review buku-buku koleksi perpustakaan. Pemanfaatan media digital, utamanya sosial media dan website mutlak dilakukan karena kini orang lebih sering memegang ponsel ketimbang buku.
Karena sebenarnya minat baca masyarakat pada unggahan di sosial media, atau pesan berantai di aplikasi chatting sangat tinggi, hanya saja tidak semua unggahan itu bermutu. Tak jarang yang berisi hoax atau informasi yang belum lengkap. Sehingga menciptakan kemelut di masyarakat. Itu dampak dari konsumsi bacaan yang tak sehat.
Keenam, menggelar lapak buku di areal keramaian. Satu problem yang sampai sekarang belum terpecahkan adalah, jam buka perpustakaan adalah juga jam kerja sebagian besar masyarakat.
Saat sebagian besar masyarakat sedang bekerja, perpustakaan buka. Sementara saat sebagian besar masyarakat sedang tidak bekerja, perpustakaan tutup. Padahal, rata-rata mereka yang berkunjung ke perpustakaan menggunakan waktu luang di luar jam kerja.
Karena itu, perpustakaan harus menjemput pembaca. Salah satunya menggelar lapak di area keramaian seperti Taman Kota, Alun-alun, City Walk dan sejenisnya.
Pihak perpustakaan bisa membentuk kader literasi, atau bekerjasama dengan pegiat lapak baca dengan sistem meminjamkan sekian eksemplar ke pegiat lapak baca.
Masyarakat pun bisa mendapatkan layanan pinjam di lokasi lapak, dengan sistem pinjam meminjam yang sudah ada. Ini adalah salah satu upaya mendekatkan buku-buku ke masyarakat.
Sebagai masyarakat, kita harus lebih maksimal memanfaatkan perpustakaan, untuk memperluas wawasan, hingga mengembangkan skill dan kreatifitas. Karena perpustakaan dibangun negara agar rakyat menjadi lebih pintar tanpa harus bayar. Perpustakaan : Cara Gratis untuk Pintar
Perpustakaan menjadi tempat yang rutin saya kunjungi sejak SMA. Biasanya pada hari Jumat, sekolah pulang lebih awal karena siswa laki-laki harus Shalat Jumat. Saya tidak langsung pulang. Selepas dari Masjid, langsung ke Perpustakaan. Apalagi di Blitar berdiri perpustakaan yang sangat representatif, yaitu Perpustakaan Bung Karno.
Kegiatan itu berlanjut hingga sekarang. Setidaknya, setiap minggu sekali kami berkumpul membahas buku bacaan dan melatih kemampuan menulis melalui wadah yang bernama Forum Lingkar Pena.
Koleksi buku yang berlimpah di Perpustakaan, serta fasilitas di dalamnya, kami manfaatkan sebagai tempat diskusi dan berbagi ilmu.
Karena seringnya kami berkumpul di sana, kami pun dekat dengan pihak Perpustakaan dan sering diberi ruang untuk berkegiatan. Seperti mengadakan seminar dan pentas seni di Ampiteater.
Memanfaatkan Perpustakaan
Masyarakat bisa berkunjung ke Perpustakaan tanpa dipungut biaya sepeserpun. Baik biaya parkir, akses fasilitas, maupun meminjam buku. Saat terlambat mengembalikan pun, hanya dapat skorsing, tidak ada denda.
Ini yang membuat saya nyaman. Negara telah membangun Perpustakaan, baik skala Nasional, Provinsi maupun daerah yang disebut Perpusda (Perpustakaan Daerah), agar masyarakat memanfaatkannya sebaik mungkin.
Koleksi buku di Perpustakaan tersebut bisa diakses oleh Masyarakat umum, siapa saja, tanpa memandang latar belakang pendidikan, bahkan tanpa perlu mengenakan seragam formal. Bebas saja.
Ada ribuan buku yang disajikan pada rak-rak panjang sebagai bahan bacaan. Kadang saya berpikir, Perpustakaan memang didirikan negara agar rakyatnya jadi lebih pintar dan berwawasan, tanpa harus bayar mahal, bahkan gratis.
Perpustakaan sebenarnya adalah sumber literatur, khususnya dalam bentuk buku. Banyak buku dari beragam tema disediakan, yang mustinya dimanfaatkan oleh masyarakat.
Perpustakaan Bukan Gudang Buku
Ada yang menyebut perpustakaan adalah gudang buku, padahal sebutan itu keliru. Gudang selalu dikonotasikan tempat menyimpan barang bekas, rongsokan, atau barang yang sudah tak terpakai.
Kesan bahwa perpustakaan sebagai gudang buku seperti hanya tempat menyimpan buku tanpa ada aktivitas pengembangan budaya baca di dalamnya. Seolah terkesan bahwa pustakawan hanya sibuk menata dan merapikan buku saja.
Padahal perpustakaan adalah pusat pengembangan ilmu. Di Perpustakaan lah harusnya masyarakat mencari bahan bacaan yang bisa dia jadikan referensi untuk menjalani kehidupannya, memberikan wawasan dasar, sampai memberi inspirasi untuk berkembang.
Perpustakaan pun bisa merancang beberapa kegiatan dalam rangka membangun minat baca masyarakat.
Menghidupkan Perpustakaan
Perpustakaan tidak hanya menjadi lokasi penyimpanan buku, namun juga pusat pengembangan budaya membaca. Ini juga yang pernah saya diskusikan dalam Forum Komunitas Pembaca Aktif (FKPA) Perpustakaan Bung Karno.
Memang tidak semua Perpustakaan mendapatkan perhatian khusus dari pihak pemerintah, lebih-lebih pemerintah daerah. Salah satu bukti, minimnya pos anggaran untuk Dinas Perpustakaan dan Kearsipan.
Minimnya anggaran, membuat Perpustakaan hanya bisa memberikan layanan yang terbatas dan tidak bisa membuat inovasi program, seperti program-progam non layanan dalam rangka membangun minat baca masyarakat.
Namun beberapa kegiatan dengan budget minimal bisa dilakukan dengan melibatkan peran serta masyarakat, terutamanya pegiat literasi. Bagaimana caranya?
Pertama, Perpustakaan harus tahu kondisi masyarakat. Salah satunya, kondisi akan rendahnya minat baca buku, dibanding membaca unggahan di sosial media. Padahal, buku adalah produk unggulan perpustakaan. Masyarakat masih lebih suka mendengar. Budaya lisan masih lebih kuat dari budaya baca.
Hal ini juga yang dirasakan oleh Pustakawan di Perpustakaan Bung Karno, khususnya Pustakawan Koleksi Khusus (KK) yang menyajikan buku-buku karya Bung Karno dan atau yang berkaitan dengan Bung Karno.
Karena menurut aturan buku-buku koleksi khusus tersebut tidak boleh dipinjam dan hanya bisa baca di tempat, sementara materi bukunya cukup berat, yang perlu waktu khusus untuk bisa memahaminya, akhirnya digagaslah program bincang buku.
Program ini digerakkan oleh Komunitas, yang kami sebut Komunitas Malas Baca (kini berubah nama menjadi Komunitas Muara Baca). Tanpa berpretensi tinggi bahwa nyatanya kami dan mungkin sebagian besar masyarakat adalah tipe yang malas baca buku, namun disisi lain gelisah dengan sifat malasnya tersebut. Sehingga dicarilah jalan tengahnya.
Dalam hal ini Pustakawan punya peran strategis. Pustakawan lah yang membaca buku dan sekaligus penutur ; menceritakan isi buku serta memberikan gambaran tentang pentingnya isi buku tersebut bagi masyarakat, khususnya bagi mereka yang belum punya kebiasaan membaca buku.
Peserta diskusi juga diajak aktif untuk mengisi bincang buku. Bagi peserta yang sudah memiliki kebiasaan membaca buku, diberi ruang untuk menceritakan isi buku yang dibaca, bergantian. Sehingga, dalam sebulan bisa ada 4 buku kami bincangkan. Mereka yang malas membaca pun, dengan hadir dalam bincang tersebut, setidaknya dalam sebulan mengetahui apa isi dari 4 buku yang kita bincangkan.
Namun perlu juga diketahui bahwa tidak semua masyarakat berminat pada buku-buku bertema ideologi, politik, sejarah, filsafat dan sejenisnya. Kadang justru lebih banyak yang suka buku atau materi how to. Misal, bagaimana cara mencangkok pohon? Bagaimana hidup bahagia? Bagaimana kiat sukses berwirausaha? dan lain sebagainya.
Karena itu kajian atau diskusi buku bisa diarahkan pada buku-buku di atas, yang menjadi selera atau kebutuhan masyarakat. Bisa juga memilahnya dalam tema yang berbeda, untuk mengakomodir kebutuhan masyarakat.
Seiring waktu, berawal dari bincang buku, para peserta bisa terangsang untuk membaca sendiri. Iklim positif bertemu dengan para pembaca buku membuatnya memiliki semangat untuk mulai memiliki kebiasaan membaca buku. Karena ia sadar bahwa mendengarkan saja tidak cukup.
Kedua, Pustakawan harus menjadi sumber pengetahuan. Pustakawan adalah profesi yang mulia, sayang perannya kerap disederhanakan. Pustakawan adalah orang yang kerjanya bersinggungan langsung dengan buku, yang setiap harinya berkutat dengan katalog dan beragam literatur.
Oleh karena itu, pustakawan bisa berperan sebagai sumber pengetahuan, penutur, hingga pengisi materi bincang buku.
Pengunjung perpustakaan atau pemustaka tidak semuanya memahami katalog buku, pustakawan bisa menjadi informan, bahkan bisa menjadi teman diskusi serta memberikan masukan penting bagi pemustaka terkait literatur yang sedang dicari.
Jika iklim demikian terbangun, maka berkunjung ke perpustakaan jadi lebih asyik. Tidak saja mencari buku bacaan, namun juga momentum untuk berbincang dengan pustakawan yang mengetahui banyak referensi.
Ketiga, libatkan komunitas baca atau pegiat literasi. Misalnya, ada GPMB (Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca). GPMB harus berisi gabungan aktivis Rumah Baca atau Taman Baca Masyarakat (TBM). Bisa juga diisi oleh para pegiat Lapak Baca, bahkan Komunitas Kepenulisan.
Peran komunitas ini sangat penting dalam menghidupkan kegiatan pengembangan minat baca, bahkan dengan budget minimal. Perpustakaan daerah bisa menjadi titik sentral bertemunya para pegiat literasi berbasis komunitas masyarakat.
Komunitas inilah yang bisa menjadi mitra perpustakaan untuk menyemarakkan kegiatan membangun minat baca, seperti diskusi buku, bincang buku, menulis cerita-cerita lokal dan lain sebagainya.
Keempat, menghasilkan produk karya tulis. Perpustakaan adalah sumber referensi, termasuk referensi khas daerah tersebut. Perpustakaan juga perlu melakukan upaya publikasi.
Beberapa Perpustakaan daerah, salah satunya Perpustakaan Daerah Kota Blitar, membuat program menerbitkan buku Sejarah Lokal. Hal ini berbentuk lomba menulis atau pelatihan menulis yang tindak lanjutnya adalah menerbitkan buku. Beberapa komunitas literasi turut diundang dalam kegiatan tersebut.
Program semacam itu sangat positif karena perpustakaan ternyata bisa turut serta memperkaya khazanah literatur nasional, khususnya terkait topik-topik lokal yang belum banyak tersentuh.
Namun program ini harus bersifat inklusif, terbuka bagi masyarakat. Setidaknya, perpustakaan daerah harus menjalin relasi yang baik dengan para pegiat literasi dan penulis di daerah masing-masing, bahkan jika perlu Perpusda memiliki data siapa saja penulis di daerahnya. Peran penulis di daerah ini akan memudahkan program publikasi karena mereka memiliki skill menulis yang baik.
Kenapa harus kegiatan menulis? Mereka yang melakukan kegiatan menulis, secara otomatis pasti memiliki kebiasaan membaca. Terutama membaca untuk memperkaya referensi atas tulisan yang sedang dibuat.
Selain itu, kemampuan menulis sangat ditopang oleh kebiasaan membaca. Setiap penulis sudah pasti adalah seorang pembaca. Maka kegiatan kepenulisan perlu digalakkan karena bisa sekaligus menyokong minat baca. Semakin banyak yang menulis, budaya membaca itu juga akan tumbuh dengan sendirinya.
Kegiatan menulis juga bisa diarahkan pada penulisan resensi atau sekadar review buku-buku koleksi perpustakaan. Pemanfaatan media digital, utamanya sosial media dan website mutlak dilakukan karena kini orang lebih sering memegang ponsel ketimbang buku.
Karena sebenarnya minat baca masyarakat pada unggahan di sosial media, atau pesan berantai di aplikasi chatting sangat tinggi, hanya saja tidak semua unggahan itu bermutu. Tak jarang yang berisi hoax atau informasi yang belum lengkap. Sehingga menciptakan kemelut di masyarakat. Itu dampak dari konsumsi bacaan yang tak sehat.
Keenam, menggelar lapak buku di areal keramaian. Satu problem yang sampai sekarang belum terpecahkan adalah, jam buka perpustakaan adalah juga jam kerja sebagian besar masyarakat.
Saat sebagian besar masyarakat sedang bekerja, perpustakaan buka. Sementara saat sebagian besar masyarakat sedang tidak bekerja, perpustakaan tutup. Padahal, rata-rata mereka yang berkunjung ke perpustakaan menggunakan waktu luang di luar jam kerja.
Karena itu, perpustakaan harus menjemput pembaca. Salah satunya menggelar lapak di area keramaian seperti Taman Kota, Alun-alun, City Walk dan sejenisnya.
Pihak perpustakaan bisa membentuk kader literasi, atau bekerjasama dengan pegiat lapak baca dengan sistem meminjamkan sekian eksemplar ke pegiat lapak baca.
Masyarakat pun bisa mendapatkan layanan pinjam di lokasi lapak, dengan sistem pinjam meminjam yang sudah ada. Ini adalah salah satu upaya mendekatkan buku-buku ke masyarakat.
Sebagai masyarakat, kita harus lebih maksimal memanfaatkan perpustakaan, untuk memperluas wawasan, hingga mengembangkan skill dan kreatifitas. Karena perpustakaan dibangun negara agar rakyat menjadi lebih pintar tanpa harus bayar.