Mei 2009, adalah kali pertama saya "merasakan" Kota Batu. Kota yang oleh orang Belanda disebut De Kleine Zwitserland, Swiss kecil di Pulau Jawa.
Sebelumnya, hanya sekadar lewat. Belum benar-benar bisa memaknai energi dari Kota di antara pegunungan tersebut.
Kala itu, selepas turun dari Stasiun Kota Baru Malang, dua kali saya naik angkot. Pertama jurusan terminal Landungsari, lalu oper angkot warna pink jurusan Batu. Setelah itu, naik bus jurusan Kediri/Jombang.
Kebetulan ada acara di sebuah Villa, di sekitar Songgoriti. Karena letaknya di atas bukit, tampak pemandangan kota Batu. Kala malam tiba, keindahannya semakin menjadi-jadi, terlebih di pagi hari, Gunung Panderman begitu megah menampakkan diri.
Saya jatuh cinta pada kota ini, terlebih hawa dingin yang mendekap tak henti, antara 11-14 derajat celcius.
-00-
Warga Batu, utamanya yang senior, masih merasa dirinya Arema (Arek Malang). Batu mulanya memang bagian dari Kabupaten Malang, sebelum berdiri sendiri sebagai kota otonom pada 2001 silam. Meski begitu tetap menjadi bagian dari Malang raya.
Di Kota Batu lah kebun apel banyak ditemui. Justru jadi ikon tersendiri.
Selama kuliah di Malang, sering saya ke Batu, utamanya untuk urusan organisasi. Berapa kali? Tak pernah menghitung.
Menginap di Balai Desa, ruang kelas, sampai villa dan hotel pun pernah saya rasakan.
Begadang sampai pagi, berbincang sembari ngopi di dekat alun-alun, juga beberapa kali saya lakukan. Termasuk, mengunjungi sebuah petirtaan (tempat mandi terbuka), semacam mbelik. Merasakan betapa kesegaraan mata air yang meresap ke pori-pori kulit.
Kota Batu sepertinya sengaja didesain sebagai kota wisata. Itu tampak dari makin banyaknya penginapan, terutama hotel berbintang.
Belum lagi villa, taman rekreasi, dan beragam kafe yang menawarkan view menakjubkan, khas suatu kota yang berada di pegunungan. Keramaian dan keheningan yang menyatu.
Saat bermalam di suatu desa bernama Bulukerto, saya merasa tengah menepi jauh dari keramaian. Padahal, sekitar dua kilo dari lokasi, kita bisa menemui pusat perbelanjaan, taman hiburan malam dan jalanan yang penuh sesak oleh kendaraan.
Begitupun kala saya masuk sebuah area pemandian terbuka. Hawa dinginya serasa di suatu daerah terpencil, tengah hutan. Padahal, lokasinya kurang dari 1.000 meter dari alun-alun.
Sungguh mengesankan, bukan?
Beberapa kampus juga mulai "membuka lahan" di Kota Batu. Terlihat beberapa area yang mulanya tanah lapang atau perkebunan, kini mulai tersentuh pembangunan.
Kota Batu yang mulanya seperti "kota tersembunyi" karena terselip di antara sebagian Kabupaten Malang, tampaknya akan menjadi etalase utama.
Imajinasi lama tentang Malang sebagai kota apel dan kota bunga, kini justru tergambar jelas di Kota Batu.
Bagi saya, Kota Batu lebih menarik, bahkan dari Kota Malang. Meskipun keduanya sama-sama menyimpan kenangan kuat. []
Batu, 13 November 2020
Ahmad Fahrizal Aziz