Sembari menanti antrian pangkas rambut, mata saya tertumbuk pada stand ruko persewaan kaset VCD, yang letaknya persis di samping tempat saya duduk.
Di era Youtube, Netflix dan sebagainya, masih ada yang menjalankan bisnis ini.
Beberapa orang terlihat sedang memilah-milah kaset yang hendak mereka sewa : Film laga, anime, sampai video konser musik.
Ternyata, masih ada yang menonton film dari VCD. Beberapa merk televisi memang dilengkapi pemutar VCD. Sebagian mungkin lewat komputer atau laptop.
Melihat sampul-sampul kaset yang terpajang itu sungguh menyenangkan. Kebiasaan yang sering saya lakukan sejak kelas 4 SD hingga kuliah semester awal.
Dulu, tak jauh dari rumah ada sepasang suami istri membuka rental VCD. Keduanya adalah kolektor film. Ruang tamunya disulap jadi etalase.
Pada akhir pekan, sering saya berkunjung menyewa kaset. Ada empat kategori film : film Indonesia, Bollywood, Mandarin dan Barat.
Sebagian besar koleksi pasangan suami istri itu adalah film. Beberapa film barat dan mandarin sering saya pinjam. Kami begitu akrab, bahkan saking akrabnya tak perlu lagi meninggalkan jaminan KTP, yang kadang saya meminjam KTP bapak atau bulek.
Pernah juga diingatkan, kalau sebenarnya film itu khusus untuk orang dewasa. Misalnya, film Titanic yang sudah saya tonton sejak kelas 5 SD.
Beranjak saya SMP, Rental itu tutup. Sepertinya mereka pindah. Rumah itu kemudian disewa orang lain dan berubah menjadi Salon Kecantikan.
Saya mencari rental lain, di dekat kantor kelurahan, ada rental VCD yang koleksinya cukup banyak. Karena sudah punya kartu pelajar, saya tidak perlu pinjam KTP bapak.
Berapa biaya sewanya? agak lupa. Kalau tidak keliru, Rp2000 per kaset untuk seminggu. Rp5.000 dapat 3 kaset. Kasetnya original, bukan bajakan. Kaset bajakan biasa dijual murah, bahkan lebih murah dari biaya sewanya.
Saat itu, harga kaset bajakan Rp4000 per keping. Jadi, dibandingkan nyewa, mending beli. Namun kaset bajakan kualitasnya kurang bagus, kadang juga macet-macet.
Anda tahu, mengingat masa itu sungguh menyenangkan. Malam itu, di sela menanti antrian pangkas rambut, saya iseng lihat-lihat apa saja koleksi film yang ditawarkan. Bahagia rasanya, meski tidak menyewa.
Sebagian besar penyewa adalah bapak-bapak, ada yang kakek-kakek. Wajar, bukan?
Generasi sekarang mana ada yang masih menonton dari VCD?
Saya lirik buku pencatatan, ternyata masih cukup banyak yang menyewa kaset VCD. Mereka pun masih rela menyewa ruko untuk menjalani bisnis ini.
Mungkin, tidak untuk meraup pendapatan maksimal, namun bisa saja untuk merawat kenangan. Jangankan VCD, piringan hitam pun sampai sekarang masih diproduksi, meski sangat terbatas.
Jumat, 23 Oktober 2020
Ahmad Fahrizal Aziz