Banjir itu ...


Sabtu, 4 Januari 2020

Kebanjiran itu menakutkan. Saat media sosial dipenuhi perdebatan siapa yang salah, dengan framing politik, para korban sedang pusing memikirkan bagaimana bisa memulihkan kehidupannya pasca banjir reda.

Saat banjir berlangsung dan hujan masih mengguyur, tubuh menahan dingin yang teramat sangat. Bukan dingin karena cuaca, namun karena suhu tubuh terserap oleh pakaian yang basah.

Karenanya, seperti dalam edukasi pendakian, mengenakan pakaian basah dalam waktu lama bisa sangat beresiko. Sayangnya, dalam musibah banjir, pakaian kering nyaris tak tersedia.

Masalah lain, adalah rusaknya dokumen-dokumen penting, yang perlu diurus lagi ke dinas terkait, sehingga membutuhkan cukup waktu.

Belum pembersihan rumah, karena ketika air surut, lumpur coklat pekat yang tersisa, untuk membersihkannya butuh berapa kubik air bersih.

Bisa dibayangkan mobil-mobil yang terendam, yang jumlahnya ribuan, bagian dalamnya dan tentu mesinnya, dimasuki lumpur. Sebagian rusak total.

Lalu yang memiliki hewan ternak, atau kolam ikan, semuanya amblas. Apalagi mereka yang rumahnya roboh, terkikis dan terdorong kuatnya tekanan air.

Banjir tak bisa jadi bahan tertawaan. Mereka yang menjadikan banjir sebagai framing untuk kepentingan politik, adalah orang yang tak punya perasaan.

Memang ada human eror di sana. Misalnya, banyaknya sampah yang dibuang sembarangan, pembangunan gedung-gedung beton sehingga air tak bisa meresap ke tanah, hingga hutan-hutan yang gundul.

Banjir menjadi masalah serius, apalagi di daerah padat penduduk, yang antara rumah satu dengan lainnya nyaris tak ada sekat.

Kerugian materinya sangat besar. Tahun 2002 mencapai 5,4 Triliun, tahun 2007 mencapai 5,2 triliun, dan 2013 lebih dari 7 triliun. Lalu kira-kira berapa jumlah kerugian materi banjir Jakarta 2020 ini?

Itu belum dihitung kelumpuhan ekonomi selama dan pasca banjir, yang jelas sangat besar. Sebab selepas banjir reda, kegiatan ekonomi tidak bisa langsung berjalan. Masih butuh pemulihan.

Betapa mengerikannya banjir, apalagi di kota besar nan padat penduduk, pusat perekonomian masyarakat.

Banjir yang saya rasakan pada 2004 silam mungkin belum seberapa, namun itupun sudah sangat mengerikan, melihat air keruh menggenangi rumah-rumah, menghanyutkan perabotan, hewan ternak, dan merubah sawah menjadi danau-danau bewarna coklat.

Kedai Muara
Ahmad Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak