Tiga hari terakhir, saya merasakan betapa "tersiksanya" perut seuasi minum kopi. Terasa panas, ada sedikit rasa perih. Memang ini bukan yang pertama kali, tetapi memang tak mudah meninggalkan kebiasaan ngopi selepas sarapan.
Makin komplit, ketika sarapannya pedas. Sering saya membuat nasi goreng, atau mie rebus, dengan menambah cabai yang diulek. Sudah makan pedas, minum kopi pula. Sukses memicu asam lambung.
Sementara, makan tanpa rasa pedas, betapa hambarnya. Apalagi untuk nasi goreng. Belum lagi kalau sekaligus penikmat kopi, sementara lambung tak bersahabat. Jika asam lambung berlebih, bisa memicu sakit mag. Perlu hati-hati.
Padahal kopi yang diminum sudah tidak lagi murni, ada tambahan jagung. Orang bilang kopi jitu, kopinya siji jangunge pitu (biji kopinya satu, jagungnya tujuh).
Rata-rata kopi bubuk sachet memang kategori jitu itu tadi. Kopi yang asli, tentu harganya lebih mahal. Artinya, karena sudah banyak campuran, tentu sudah lebih ramah untuk lambung.
Akan tetapi jika berpasangan dengan pemicu lain, tentu tetap bereaksi. Ya, sebut saja rasa pedas dan masam/kecut. Maka harus memilih salah satu. Jika makan pedas atau masam, maka jangan minum kopi.
Begitupun sebaliknya, jika ingin minum kopi maka upayakan jangan makan yang pedas atau masam. Sebab kelebihan asam lambung tidak bisa dianggap sepele. Karenanya perlu dikontrol.
Asam lambung tidak saja membuat sakit mag, namun bisa menyebabkan hal lain terjadi. Maka sekali lagi, tak bisa disepelekan. Jangan sampai hanya karena ingin mendapatkan kenikmatan di lidah, namun menyisakan sakit di bagian lain.
Sekalipun penikmat kopi, namun upayakan jangan sampai ngopi dalam keadaan perut kosong. Perut diisi dulu, agar reaksi asam lambung tak berlebih. Beginilah ketika penikmat kopi, yang harus tetap beradaptasi dengan kondisi lambung.
Apakah teman-teman memiliki problem yang sama seperti saya?
Blitar, 17 November 2018
Ahmad Fahrizal Aziz
Tags:
cerpri