Baiknya Saya Golput!



Apakah baik mendeklarasikan diri untuk golput? Tentu tidak. Bagi penyelenggara dan peserta pemilu, mereka butuh suara. Sementara kita punya hak untuk memilih. Kenapa tidak digunakan?

Pilbup 2 tahun silam, di daerah saya, yang maju hanya sepasang. Lawannya kertas kosong. Kita diberi hak untuk memilih pasangan tersebut, atau kertas kosong.

Terdengar konyol. Makanya saya tidak pergi ke TPS. Sudah pasti pasangan itu menang, memang siapa yang mau mengawal kertas kosong?

Beda halnya jika yang tidak datang ke TPS, dianggap tidak memilih pasangan tersebut.

Jangankan surat suara yang tidak kita ambil, yang sudah kita ambil, kita coblos saja, kemungkinan masih hilang.

Banyak kasus seperti, suara calon A hilang di beberapa TPS, dan tidak bisa diusut, karena tidak punya saksi. Lha, kalau tidak punya saksi bagaimana tahu dapat suara?

Akhirnya ketahuan juga, dia membayar sekian orang dan diprediksi mendapat suara sekian, hanya saja kehabisan modal untuk bayar saksi. Suara pun lenyap.

Karena itu pada sebuah kesempatan, saya bertanya pada salah satu komisioner KPU Kota. Apa pihak penyelenggara sendiri tidak bisa mengawal, sehingga calon tidak perlu keluar modal untuk bayar saksi?

Anda bayangkan, bayar saksi itu tidak murah. Memang nominalnya kecil, tetapi dikalikan berapa ratus atau ribu TPS, tentu memberatkan kantong.

Lalu apa sih dampak dari satu suara yang kita miliki, dibanding jutaan yang lain? Kalau hanya saya sendiri yang golput, tak berdampak sama sekali. Ibarat sebutir pasir di bak mandi.

Namun jika ini dibagikan 1.000 orang dan dibaca 10x lipatnya, mungkin akan cukup berdampak. Hehe

Jadi ada dua pilihan Golput. Pertama, datang ke TPS lalu coblos saja semuanya, lalu celupkan jari kelingking ke tinta biru, agar seolah-olah tidak golput.

Kedua, tidak usah datang. Cukup di rumah, menonton televisi, dan menyimak para pengamat menafsir realitas, dari angka-angka yang terus berjalan.

Tetapi cara yang kedua ini beresiko. Itu berarti surat suara yang menjadi hak kita, akan tetap terlipat rapi. Iya kalau misalkan tetap terlipat rapi, kalau akhirnya dibuka orang jahat dan dicoblos semaunya. Bisa bahaya.

Jadi, kalau ingin golput, lebih baik gunakan cara pertama. Datang ke TPS, coblosi semua, biar tidak disalahgunakan orang jahat.

Namun perlu diingat, buat apa capek-capek ke TPS, antri, korban waktu, dibuat ribet dengan beberapa surat suara yang banyak tulisan dan foto-foto, tetapi justru tidak menyalurkan hak suara dengan baik?

Disinilah kita sadar, bahwa kita terikat dalam sistem dan kemungkinan-kemungkinan yang serba salah. Golput pun salah, mau memilih pun calon yang ada tidak begitu meyakinkan.

Mau apatis sama sekali pun juga keliru. Mereka kelak yang akan membuat dan menjalankan kebijakan yang mengikat kehidupan publik, yang kita ada di dalamnya.

Mau ikut serta mengajak agar menyalurkan hak memilih dengan bijak, rasanya membosankan. Sudah banyak yang melakukan itu, dan memang itulah ajakan terbaik, dari ajakan-ajakan lain yang serba salah tadi.

Makin salah lagi jika mengajak golput. Serba repot.

Jadi kita memang harus memulai untuk lebih peduli lagi, mempelajari rekam jejak dari orang-orang yang akan kita pilih.

Apakah itu Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota, Caleg DPRD Kota/Kabupaten, DPRD Provinsi, DPR RI, DPD RI, hingga lurah dan kepala desa.

Mungkin dari situ akan ada dua atau tiga calon yang menarik perhatian kita, sehingga kita tergerak untuk memilih, bahkan ikut berkampanye.

Dan berdoa, semoga jika jadi kelak, tidak hilang. Maksudnya, setelah jadi anggota DPR, kena PAW karena yang bersangkutan pindah dapil atau tergiur jabatan lain.

Atau, yang baru terpilih jadi Bupati/Walikota, baru setahun atau dua tahun mejabat sudah tergiur maju menjadi Gubernur atau Wakil Gubernur.

Baru terpilih jadi Gubernur atau Wakil Gubernur, baru beberapa bulan sudah sibuk untuk maju Pilpres. Bagaimana tidak mengecewakan?

Namun jika hal itu terjadi, kembalikanlah semua pada Tuhan. Mau bagaimana lagi? Hanya ini yang bisa dilakukan rakyat jelata. Selamat menggunakan hak-hak politik. []

Blitar, 24 September 2018
Ahmad Fahrizal Aziz
www.fahryzal.com

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak