2018 adalah tahun ke-10 berdirinya FLP Blitar, sejak diresmikan pada 31 Agustus 2008, di Aula Panti Sosial Bina Remaja (PSBR) Kota Blitar, dihadiri langsung oleh Ketua FLP Pusat kala itu Pak Irfan Hidayatullah.
Pada kesempatan itupula diadakan Musyawarah wilayah, dan memilih ketua FLP Wilayah Jatim. Terpilihlah Bu Sinta Yudisia, yang dikemudian hari menjadi ketua FLP Pusat.
Jadi, dalam kapasitasnya yang baru berdiri, FLP Blitar pernah jadi tuan rumah Musyawarah wilayah.
Saat itu, saya masih 16 tahun. Meluangkan waktu disela sekolah, sekaligus mengurus ekstrakurikuler Jurnalistik, dari situlah berjumpa dengan orang-orang yang kemudian bersama-sama mendirikan FLP Blitar.
Sayangnya saya hanya bisa aktif sampai Juli 2009. Karena setelah itu hijrah ke Malang, kuliah dari Senin-Jum'at, dan berbagai kegiatan tambahan pada Sabtu dan Ahad.
Sejak itu saya vakum dari FLP Blitar. Sesekali datang pada acaranya, seperti seminar kepenulisan di Unisba pada 2010. Namun tidak aktif mengurus organisasinya.
Saya kemudian bergabung dengan FLP Ranting UIN Malang pada pertengahan 2010 itu. Setahun kemudian jadi sekretaris, pada pertengahan 2012 menjadi ketua selama 20 bulan, hingga akhir 2013.
Setelah itu saya memang tidak ingin aktif lagi di FLP. Meski yang lain masih aktif, bahkan yang lebih lama dari saya, masih aktif di kepengurusan cabang dan ranting misalkan.
Kenapa tidak ingin aktif lagi? Sebaiknya berorganisasi itu jangan terlalu lama. Kalau sudah re-organisasi, cukup jadi penyemangat kepengurusan yang baru.
Kalau memang ada kesempatan ke struktur yang lebih tinggi, misalnya Wilayah atau Pusat, ya bisa lanjut disana. Kalau tidak, mending tidak perlu jadi pengurusnya lagi.
Asalkan jangan meninggalkan generasi yang lemah.
###
Awal 2015 kesibukan saya di Malang tak terlalu padat, sehingga bisa bolak balik ke Blitar untuk mempersiapkan "agenda baru". Hingga pertengahan 2015 bisa benar-benar kembali ke Blitar.
Akhirnya komunikasi dengan FLP Blitar terjalin lagi, sekaligus bersepakat untuk menghidupkan kegiatan di dalamnya. Padahal saya sempat tidak ingin aktif lagi di FLP, namun yang menjadi pemikiran waktu itu, saya belum pernah benar-benar aktif di FLP Blitar.
Bagi saya, ini menyambung keterputusan sejak pertengahan 2009 silam. Tentu dengan pengalaman yang berbeda, dengan semangat dan mood yang berbeda pula.
Dari 2015 hingga 2018 kini, sudah hampir 4 tahun FLP Blitar kembali eksis. Bahkan sangat eksis, dengan 2 kali menerbitkan buku, rutin pertemuan mingguan, agenda-agenda kepenulisan yang dijalankan, sampai masuk koran radar Blitar. Hehe
Dari 2008-2018 pula FLP Blitar memiliki empat ketua, periode Mbak Gesang Sari Mawarni dan Mbak Lilik Nuktihana dari 2008-2015. Lalu Ahmad Saifudin dan Rosy Nursita dari 2015 hingga sekarang.
Sejak kembali ke Blitar pada pertengahan 2015, saya memang ingin aktif ber-literasi di Blitar. Bertemu Alfa Anisa dan Rere, yang kemudian bisa silaturahim ke LPM di kampus-kampus.
Selain tetap menengok adik-adik di Ekstrakurikuler Jurnalistik Man Kota Blitar, tempat saya pertama kali belajar menulis dan berkegiatan literasi.
###
2017 FLP Blitar begitu eksis, selain pertemuan rutin, ada juga kegiatan Goes To School, dua kali mengadakan kegiatan puisi : perayaan hari puisi dan gempa puisi, serta melengkapinya dengan menerbitkan buku antologi puisi.
Bersama kawan-kawan FLP Blitar, saya mewujudkan keinginan yang terpendam sejak lama, yaitu ikut memeriahkan kegiatan literasi, sastra, dan budaya. Mengabdi di tanah kelahiran sendiri.
Akan tetapi, kelemahan terbesar dari sebuah komunitas, tidak adanya pengelolaan organisasi yang formal dan terstruktur. Termasuk kaderisasi. Padahal FLP Blitar termasuk organisasi kaderisasi penulis.
Misalkan saja, soal sistem penerimaan anggota baru, kaderisasi di dalamnya, hingga sistem pergantian kepengurusan, dari ketua dan jajarannya. Hal semacam itu perlu dipikirkan, agar ada proses berkesinambungan.
Agar tidak vakum ketika ditinggal penggeraknya yang lama. Meski untuk menjalankan sistem keorganisasian tersebut juga tidak mudah.
Itulah kenapa komunitas, apalagi komunitas literasi, kadang timbul tenggelam. Eksis, vakum, lalu eksis lagi, dan ada kemudian yang benar-benar vakum selamanya.
Karena sifatnya komunitas, maka orang yang bergabung pun juga membidik sesuatu, katakanlah, ingin bisa menulis. Setelah hal itu didapat, akan pergi.
Atau ada juga, setelah masuk dan bergabung, tidak menemukan yang dicari, lalu pergi. Ada juga yang masuk, aktif beberapa kali diawal, lalu tidak istiqomah.
Ya itulah variasinya, sedikit sekali yang berfikir soal regenerasi dan keberlangsungan organisasi.
Artinya komunitas kepenulisan tidak hanya melahirkan orang yang bisa menulis, namun juga melahirkan orang-orang yang bisa mengajarkan menulis ke yang lain.
Karenanya wadahnya perlu dirawat, komunitasnya perlu tetap eksis sebagai wadah tersebut.
10 tahun FLP Blitar ini sudah cukup lumayan. Meski sempat vakum dan aktif kembali pada 2015 hingga saat ini, berjalan 3 tahun lebih.
Namun seberapa usaha untuk menghidupkan komunitas literasi, wabil khusus dalam bidang kepenulisan, tetap akan kembali pada kesadaran bahwa, menulis adalah kegiatan individual.
Seperti halnya membaca, sudah berapa banyak komunitas baca yang tidak eksis lagi. Sebab membaca adalah kegiatan individu. Ruang yang benar-benar personal.
Saya pun pada akhirnya, setelah banyak momentum bersama komunitas saya lalui, akan kembali merenung pada aspek ini : sudahkah saya sendiri menulis?
Jika Nabi bersabda bahwa hari ini harus lebih produktif dari kemaren, maka yang terjadi pada FLP Blitar justru sebaliknya.
Bagi saya itu hal wajar dan maklum, ada saat semua perlu jeda, merenung sejenak dari semua yang telah dilalui. Hingga pada akhirnya FLP Blitar vakum kembali, seperti sebelum 2015, maka memang sudah saatnya.
Ada saatnya ruang aktualisasi kita pun berganti, asalkan jangan sampai terhenti. Selamat ber-literasi, dari diri sendiri. []
Blitar, 30 September 2018
Ahmad Fahrizal Aziz