Tolong! Jangan Jiplak Tulisanku


Oleh : Ahmad Fahrizal Aziz

Kenapa harus marah dijiplak sih? Ya bagus kan, tulisannya jadi nyebar dan dibaca banyak orang. Ucap salah seorang teman.


Bagus, iya, tetapi ada rasa tidak terima saja ketika tulisan yang kita buat susah payah, bahkan mencari referensi sana sini, lalu diklaim orang lain. Jelas tidak terima.


Ini sama dengan, kita lelah bekerja untuk dapat uang. Uang itu kita belikan barang kesayangan, lalu barang itu dicuri dan dinikmati orang lain.


Kita yang lelah bekerja untuk dapatkan barang itu, tetapi orang lain yang menikmati.


Sama ketika kita sudah menghabiskan beberapa jam, bercangkir-cangkir kopi, dan energi untuk membuat sebuah karya tulis, lalu dengan semena-mena orang ngambil dan mengklaim karyanya.


Dia dapat pujian, tepuk tangan, honor, dan status sosial, tanpa perlu kerja keras, tanpa melalui proses yang berbelit, enak amat?


Baiklah, mari kita turunkan sedikit tensi emosi kita untuk melanjutkan obrolan ini.


Saya pernah terlibat dalam sebuah liputan tentang "kejujuran akademik", yang salah satunya membidik kasus plagiat, khususnya dilingkup akademisi.


Kita pasti sedih, bahwa akademisi, yang kesehariannya dibenturkan oleh teori akademik, wacana, diskusi, dan praktek-praktek ilmiah, itupun cukup banyak kasus plagiat.


Kala itu ada oknum dosen yang konon mengkompilasi makalah mahasiswanya, lalu dijadikan buku atas nama dosen tersebut. Mahasiswa protes, bahkan menempuh jalur hukum, tetapi tak punya bukti, selain hanya sekedar keyakinan.


Tentu. Ketika itu masih berupa makalah, jelas belum punya hak cipta. Belum masuk jurnal atau diterbitkan jadi buku. Ketika itu kemudian diterbitkan jadi buku pertama kali, atas nama dosen tersebut, jelas mereka tidak bisa apa-apa.


Begitupun dengan dosen itu, yang merasa dirinya difitnah, dicemarkan nama baik, karena kebetulan ia akan naik jabatan. Statement dosen ini ada benarnya.


Lalu kita mau percaya yang mana? Hukum jelas hanya mempertimbangkan siapa yang punya bukti.


Juga, dalam sebuah komunitas atau kelompok penulis, ada karya yang dibagikan dalam rangka meminta kritik dan saran. Karya itu belum dikirimkan ke media. Lalu beberapa minggu kemudian muncul ke media dengan nama yang berbeda.


Usut punya usut, ternyata karya itu dibagikan ke grup whatsapp yang terbuka bagi siapapun. Jelas di dalamnya banyak orang yang tidak kita kenal.


Makanya, saya menyarankan agar komunitas atau kelompok menulis itu punya grup yang membernya cukup orang-orang sendiri saja, atau yang memang anggota aktif. Untuk menghindari hal-hal demikian.


Dalam kasus seperti di atas, lalu penulis utamanya bisa berbuat apa? Alih-alih hanya minta pendapat, eh justru dirampok orang lain, dikirimkan ke media dan dirubah nama penulisnya.


***
Kasus plagiat yang benar-benar polos adalah mengambil karya orang yang sudah muncul ke media, apalagi orang tersebut sudah terkenal. Maka dengan mudah diketahui. Apalagi media digital, yang punya aplikasi pelacak data.


Untuk kasus plagiat resensi, ternyata ada cara baru, yang tentu lucu nan menggelitik. Misal, satu buku pernah diresensi dua atau tiga orang, maka karya tiga orang itu dipilah dan digabungkan.


Jadi paragraf satu dan dua karya penulis A, peragraf tiga dan empat karya penulis B, paragraf lima dan enam karya penulis C, dan penutupnya tulisannya sendiri. Kreatif yang keblinger.


Jadi harus hati-hati. Apalagi status facebook yang serba bebas. Saya pernah mendapati sebuah tulisan yang sama di grup whatsapp yang berbeda. Di grup A tertera penulisnya Tere Liye. Di grup yang lain tertera penulisnya Najwa Shihab dengan tambahan-tambahan emotikon.


Mana yang menjiplak? Jelas bukan keduanya. Hanya orang iseng yang mengubah nama penulisnya saja.


Di era digital yang serba bebas dan terbuka ini, kejujuran memang sangat diuji. Apalgi jiplak status facebook orang juga tidak ada sanksi pidana, dan dalam benak kita juga mungkin tidak akan masuk neraka.


Masa masuk neraka hanya karena jiplak status facebook orang? Malaikat pun mungkin akan tertawa. []


Blitar, 7 Agustus 2018

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak