Azan, Speaker, dan yang Kita Ributkan



Dalam suasana super sensitif, orang kadang sulit membedakan antara azan, orang yang azan, dan pengeras suara atau speaker.

Dikiranya, orang yang mempermasalahkan pengeras suara, atau mempermasalahkan orang yang mengumandangkan azan, sama halnya mempermasalahkan azan itu sendiri. Lalu menuduh semaunya.

Padahal tidak begitu, adakalanya azan juga harus dapat sentuhan estetik. Itulah kenapa Rosulullah selalu meminta Bilal untuk mengumandangkan azan, sebab suaranya yang merdu dan mendamaikan.

Dalam rapat-rapat ta'mir Masjid pun selalu ada perbincangan tentang, siapa yang suaranya bagus untuk azan?

Keinginan untuk menampilkan azan yang bagus pasti ada, hanya orangnya tidak selalu ada, dan azan harus tetap dikumandangkan lima kali sehari. Tentu akan sangat sedih dan menggelisahkan jika akhirnya diganti dengan rekaman.

Pernah suatu ketika, pada moment idul fitri, saya dan teman-teman mampir ke sebuah Masjid untuk Shalat ashar. Azannya bagus sekali. Setelah sampai masjid, tidak ada satu orang pun. Ealah ternyata rekaman.

Masalah yang mungkin banyak terjadi di daerah-daerah pelosok terutama, tidak punya muadzin khusus, maka siapapun yang hadir duluan di Masjid atau Mosholla akhirnya yang mengumandangkan azan, dan orang tersebut juga belum tentu ahli dalam mengoperasikan sound sistem.

Untung kalau volumenya kekecilan, kalau sampai kebesaran? Maka azan yang harusnya bisa dinikmati dan dikhidmati, jadi terdistorsi oleh pengeras suara.

Ini soal teknis dan sebenarnya biasa saja. Hanya kita pun harus saling memahami juga.

Saya sendiri juga pernah merasa kurang nyaman mendengar orang mengumandangkan azan yang bagi saya, kurang memperhatikan ketepatannya. Termasuk tadarusan Al Qur'an yang bacanya terlalu cepat.

Kenapa tidak pelan-pelan saja? Dihayati ayat per ayat, agar tajwid dan Makhorij al-hurufnya juga terdengar jelas. Dikhidmati. Tidak perlu cepat dan terburu-buru, hanya karena ingin mengejar cepat khatam.

Namun disatu sisi kita juga perlu memaklumi, sebab karena pada waktu azan itu, tidak ada orang lain, sementara sudah masuk waktu shalat.

Sementara yang rajin ke Masjid atau Musholla biasanya justru yang sudah sepuh, yang tone suaranya sudah turun, yang kurang akrab dengan peralatan elektronik.

Justru perlu koreksi diri kita sendiri, kenapa kita yang muda ini, hanya jadi pendengar dan tak berniat menggantikan?

Artinya perlu juga untuk memperhatikan orang yang azan, tidak hanya dilombakan. Waktu TPA dan SD, saya sering mewakili sekolah/TPQ untuk lomba azan, meski hanya sampai juara harapan II, namun tak pernah ada pelatihan azan, atau memang saya yang belum tahu?

Pelatihan Tilawah bil nagham justru banyak, termasuk yang menggunakan nagham atau langgam Jawa, meski sering tidak dipakai ketika tadarusan Al Qur'an, paling hanya dipakai ketika pembukaan sebuah acara.

Soal keyakinan memang sensitif, hanya seringkali keributan semacam ini justru jadi alat untuk menjatuhkan orang, misalkan untuk menjatuhkan Menteri agama dan Mendikbud, yang konon akan menghapus pelajar agama.

Andai banyak muazin mengumandangkan azan yang baik, tentu betapa damai didengar, apalagi jika pengaturan volumenya tepat.

Toh ini hanya soal pengaturan echo, bass, mixer, kualitas sound sistem dan microphone, apakah masih baik atau saatnya diganti. []

Blitar, 30 Agustus 2018
Ahmad Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak