By Ahmad Fahrizal Aziz
Pidato pembukaan Dr. Suyatno, kepala Perpustakaan Bung Karno tadi pagi sangat menarik : Peziarah makam Bung Karno jangan hanya dapat abu-nya Bung Karno, namun juga api-nya. Maka harus tahu pemikiran dan konsep-konsepnya.
Jelas ini tidak mudah. Dari sekian ratus ribu peziarah setiap tahunnya, berapa kira-kira yang punya waktu untuk berkunjung ke Perpustakaan atau sekadar mengkaji foto-foto yang terpampang di museum?
Dua simbol ini : perpustakaan dan museum, barangkali adalah "wujud Bung Karno" sesungguhnya. Bung Karno yang gandrung membaca, berwawasan, dan melek sejarah. Maka ada pesan Jas Merah ; jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.
Dialog kebangsaan hari ini (21/06/18) mungkin salah satu cara untuk mengobarkan api bung karno. Ada sejarah yang dikaji, ada reflektifitas dari pikiran-pikiran besar bung karno. Ada sekitar 500 undangan disebar, dari unsur pelajar, pegiat budaya dan literasi, birokrat, dan lain sebagainya.
Dengan waktu yang singkat, enam narasumber berbicara banyak hal mulai dari sejarah, budaya, politik, ekonomi, agama, dan perspektif birokrasi.
Rata-rata memang menyampaikan secara teoritik-faktual, meski ada juga yang terlampau akademik seperti Dr. Alexander Ludi Avanto, tetapi menarik, dan menurut saya justru paling menarik. Juga Prof. Pawito, Ph.D yang sangat reflektif.
Pagi hari sebelum datang ke acara, sembari melihat-lihat sosial media, saya baru tahu kalau hari ini adalah ulang tahun Jokowi. Pada tanggal yang sama, Bung Karno meninggal dan Jokowi lahir. Meski tahunnya berbeda.
Jokowi berusia sekitar 10 tahun ketika Bung Karno wafat. Masih hidup sebagai anak tukang kayu yang miskin, yang masih mengontrak rumah, dan sering digusur.
Tak menyangka jika dikemudian hari, Jokowi lah yang berhasrat untuk meneruskan ide-ide besar Bung Karno. Trisakti misalnya, Nawacita, poros maritim, dan revolusi mental.
Tetapi antara Bung Karno dan Jokowi terasa kontras berbeda. Soal ciri khas berpakaian misal, Bung Karno yang parlente dan Jokowi yang sederhana. Gaya pidato apalagi. Bung Karno yang meledak-ledak, penuh metafor. Dan Jokowi yang datar-datar saja.
Tetapi Jokowi punya kesempatan lebih lapang, dengan suasana politik yang lebih tenang untuk melaksanakan ide-ide Bung Karno, ketimbang Bung Karno sendiri.
Buya Syafii Maarif pernah mengatakan, bahwa ide Soekarno sangatlah brilian dan visioner, hanya Soekarno sendiri kehabisan waktu untuk melaksanakannya. Dirundung suasana politik yang kacau.
Tetapi apakah mudah? Jelas tak semudah itu. Sebab kapitalisme sudah kadung mencengkram, mencekik dari berbagai arah, tanpa kita sadari, dan kita hanya bisa mengumpat sambil menikmati.
Misalkan, mengumpat kapitalisme di sosial media, memanfaatkan ponsel pintar. Padahal sosial media juga ditopang oleh perusahaan besar, pelaku kapitalisme itu sendiri. lewat iklan-iklan yang berseliweran.
Trisakti yang kita dengungkan dan perjuangkan, harus melawan itu semua. Ongkos politik mahal, sehingga butuh pemodal. Ekonomi rakyat, juga beradu dengan korporasi. Pasar-pasar tradisional bersaing dengan pasar modern yang serba ada, dalam satu tempat.
Budaya? Juga sedang mengalami pergulatan sengit, sebab teknologi informasi yang kini tak terbendung, yang membuat tidak ada lagi sekat wilayah. Kita bisa dengan mudah menonton sinetron telenovela dari negara latin, tanpa sensor, melalui internet.
Semua penuh tantangan. Akan tetapi apakah tak ada harapan?
Kira-kira pikiran Bung Karno memang masih relevan. Terkait pancasila, yang bila diperas lagi menjadi ekasila, trisila, dan jika diperas lagi maka jadilah gotong royong.
Hanya gotong royong yang seperti apa? Gotong royong yang secara riil kita sering dapati antara lain seperti kerja bakti, yang secara praksis diajarkan di sekolah.
Bagaimana gotong royong untuk kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan kepribadian dalam budaya? Perlu ada rumusan yang riil, yang mudah dicerna.
Prof. Pawito memberikan gambaran sangat menarik, seperti misalkan minum kopi. Kopi yang tumbuh dan ditanam oleh petani kita sendiri. Juga, mengurangi konsumsi roti, yang terbuat dari gandum.
"Di Indonesia tidak tumbuh gandum, jadi harus impor, tetapi hampir setiap waktu orang mengkonsumsi gandum. Hampir setiap acara ada suguhan roti," ujar guru besar FISIP Universitas Negeri Surakarta tersebut.
Tragis. Ketergantungan pada bahan impor. Prof. Rhenald Kasali sempat menulis dalam sebuah artikel, kenapa buah tropis seperti pisang, salak, dlsb kalah dibandingkan buah impor. Apel, melon, anggur yang berlabel "bahasa mandarin" lebih mendominasi minimarket.
Jika ditulis lagi apa-apa saja ketergantungan kita pada produk luar negeri, pasti akan makin tragis dan mengenaskan, belum lagi produk transportasi dan telekomunikasi.
Orang bisa dengan mudah menghujat Tiongkok, melalui ponsel Huawei, Xiomi, Oppo, atau produk ZTE yang produksinya disana.
Tetapi bagaimanapun, yang dipakai tetaplah konsep revolusi. Perubahan secara cepat dan mendasar. Ibarat orang yang sudah terpojok, terikat tangan dan kaki, dengan leher tercekik, tapi masih berharap bisa lepas, dengan cepat.
Maka jangan begitu menyalahkan pemerintah yang kini ngebut bangun macam-macam. Salah satu implementasi dari revolusi. Harus cepat, sebab persaingan begitu ketat. Terlepas kita sepakat atau tidak.
Kita yang selama ini "hidup enak" dengan subsidi dan semacamnya, jadi kaget karena dicabuti satu-satu, terasa apa-apa mahal. Masyarakat menjerit.
Mental memang harus berubah. Bukan lagi berharap pemerintah me-murahkan segala kebutuhan, tetapi dengan pembangunan yang ada, harus kita manfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan. Bisnis perlu dikuatkan, sebab jalur distribusi sudah lebih mudah.
Masalahnya, kini pesaingnya bukan hanya orang dalam negeri. Tetapi dari luar negeri, yang akan masuk dengan konsep yang mungkin lebih matang. Maka perlu revolusi mental.
Kita yang belum siap, hanya menggerutu, mengumpat, pasrah. Berharap pemerintahan ganti, agar tidak begini keadaannya. Padahal siapa menjamin? Kita sudah kadung tercekik, dan akan terus tercekik.
Perlu gotong royong agar pemerintah ganti, eh maksudnya gotong royong untuk menjalankan trisakti. Dengan cara :
Berpartisipasi aktif dalam politik, terutama dalam mengendors tokoh-tokoh kompeten. Agar masyarakat makin kenal, agar biaya kampanye berkurang, agar orang berduit atau pemodal atau aktor kapital tidak "menawarkan bantuan" yang pasti minta imbal balik nantinya.
Perlu gotong royong, dan merubah mindset untuk berbelanja ke pasar tradisional. Yang disana banyak pedagang, yang artinya tidak dikuasahi satu orang saja.
Perlu menggali lagi budaya kita, filosofi bangsa, nilai-nilai hidup. Agar tak tercerabut dari akar kebudayaan kita, agar jadi cermin kepribadian.
Dalam perspektif birokrasi, kebijakan program dan anggaran, kita juga berharap yang sama, pada tanggal dimana sang penggali wafat, namun sang penerus merayakan hari lahirnya.
Kepergian meninggalkan luka dan kesedihan, sementara kelahiran mencipta kebahagiaan dan harapan. Meski jangan juga terlalu berharap. []
Blitar, 21 Juni 2018