By Ahmad Fahrizal Aziz
Pilkada serentak 2018 sudah masuk hari tenang. Tidak boleh ada kampanye. Harus tenang, netral, santai. Tetapi pasti banyak yang merasa gelisah, gara-gara lembaga survei. Ada juga yang bahagia dan berbunga-bunga.
Dua lembaga survei merilis temuannya, untuk Pilkada serentak. Khususnya Jabar, Jateng, dan Jatim. SMRC merilis temuan untuk tiga daerah sekaligus. Sementara Poltracking, lembaga survei yang dipimpin Hanta Yuda tersebut, hanya merilis dua daerah. Jateng tidak disurvei, mungkin karena bisa diprediksi dengan mudahnya.
Beda halnya dengan Jawa Barat dan Jawa Timur. Bersaing ketat. Bahkan besar kemungkinan akan ada putaran kedua Pilgub Jabar.
Apakah hasil survei selalu tepat? Tidak juga. Hasil survei menunjukkan hasil ketika survei itu dilakukan. Dalam sisa-sisa hari jelang pemungutan suara, masih mungkin ada perubahan Masih mungkin ada kejutan. Bahkan di hari tenang.
Lembaga survei pun hanya membantu, tetapi toh banyak juga partai politik yang tidak melihat hasil survei, yang berbasis data ilmiah tersebut. Dengan misalkan, mengajukan calon yang elektabilitasnya rendah.
Calon dengan elektabilitas rendah, besar kemungkinan akan kalah. Sebab akhir-akhir ini, hasil perolehan suara partai ternyata tidak selalu sesuai dengan hasil pilkada yang didukung partai tersebut.
Lembaga survei membantu memberikan analisa, dengan data-data ilmiah. Makanya bermunculan lembaga survei, namun hanya beberapa yang bertahan, karena lebih teruji.
Calon-calon dan pengusungnya, tentu harap-harap cemas, ketika hasil survei dengan kompetitor terpaut 10%. Apalagi ketika survei dirilis 3 hari jelang pemungutan suara. Sudah kehabisan waktu, sebab masuk hari tenang.
Hasil survei juga menunjukkan, betapa elektabilitas tidak bisa dibangun dalam waktu singkat. Perlu ada rekam jejak, popularitas, dan penerimaan publik.
Publik harus kenal dulu, setelah kenal pun masih dicari kiprah dan rekam jejaknya, atau minimal gagasan-gagasannya. Tidak ujug-ujug punya elektabilitas tinggi. Kecuali jika itu lembaga survei milik sendiri, yang didanai sendiri.
Itulah uniknya pemilu di Indonesia. Tidak seperti di Malaysia, yang hanya sekali pungutan. Partai atau koalisi partai pemenang diberi wewenang untuk menentukan pemimpin eksekutif/menteri besar, atau bahkan perdana menteri.
Partai di Indonesia, yang sekalipun memiliki kursi mayoritas di legislatif tidak bisa serta merta memimpin eksekutif. Harus ada pemilihan lagi, khusus pemimpin eksekutif. Sehingga tidak bisa jumawa.
Hasil Pilgub di Jabar, Jateng, dan Jatim akan jadi berometer penting untuk Pemilu 2019, khususnya Pilpres.
Temuan survei pasti menggelisahkan sebagian pihak, juga membahagiakan pihak lain. Menariknya, justru yang paling gelisah adalah partai yang punya figur kuat sebagai capres 2019 nanti. []
Blitar, 24 Juni 2018