Energi Baru, Pasca Tadarus JIMM 2018


"Kenapa tidak nulis?"


Selain Mas Subhan Setowara, ada beberapa lagi yang bertanya, terutama teman satu angkatan di IMM.


Tadarus JIMM kali ini memang menjadi call for paper, membuka ruang bagi siapapun untuk menulis paper kemudian mempresentasikannya.


Ada tujuh sesi presentasi. Tiap sesi ada 5-6 pemakalah, yang mana setiap sesi akan didampingi satu panelis dari senior JIMM.


Tentu menarik, bisa presentasi di hadapan peserta dan panelis, Sekaligus menjadi ruang dialektika yang segar, dan mungkin menantang.


Tetapi sayangnya saya tidak menulis. Bukan tidak sempat, tetapi memang tidak tahu akan menulis apa. Kalau menulis sekedar menulis mungkin bisa, tetapi kurang puas. Sampai terlewat dateline, ternyata tidak ada topik atau tema khusus yang bisa saya tawarkan.


Mungkin gairah perlu di-charge ulang. Forum tadarus JIMM ini bisa menjadi salah satunya. Duduk dan mendengarkan presentasi dari beberapa orang, juga perspektif dari panelis. Meski dalam beberapa segmen agak terkantuk-kantuk.


Sejak kembali ke Blitar, setelah tujuh tahun di Malang, saya masih melibatkan diri dalam komunitas literasi, termasuk membuat komunitas paguyuban srengenge. Masih mengagendakan diskusi rutin mingguan tiap hari Jum'at bersama pustakawan Perpustakaan Bung Karno.


Tetapi memang kurang total. Agenda diskusi rutin tersebut sebenarnya lebih untuk "menjaga mood", belum sampai mengeksplorasi gagasan yang terstruktur. Paling hanya membaca buku lalu menceritakan ulang.


Tetapi itu sudah lumayan. Ada forum diskusi rutin mingguan. Ada website sebagai ruang aktualisasi. Meski kurang masif. Kurang puas.


Kadang saya berfikir lebih baik Paguyuban Srengenge dibubarkan, Lha daripada hanya gitu-gitu saja? Tetapi paguyuban srengenge inilah yang "menamai" eksistensi kami.


Berat juga menyandang ketua komunitas, namun tidak produktif alias mandul. Selain itu juga diperbincangkan di Internal Muhammadiyah sendiri : sudah ada organisasi, ortom, tapi kok bikin komunitas. Bukankah lebih baik masuk ke dalam dan dijadikan program?


Serba dilematis, bukan?


Harapannya Paguyuban Srengenge ini menjadi wadah kultural bagi IMM Blitar, tetapi hasrat membaca, diskusi dan menulis di IMM Blitar sendiri juga melempen.


Anehnya masih ada saja yang menyanjung Paguyuban Srengenge. Sekedar menceritakan aktivitas di dalamnya mungkin tak masalah, tetapi kalau sampai menyanjung berlebihan, justru saya malu sendiri. Karena saya ketuanya.


Apalah arti kebanggaan palsu?


Tetapi hadirnya Paguyuban Srengenge juga tidak lepas dari iklim intelektual yang diciptakan JIMM, yang mewabah dan memberikan kesan begitu mendalam.


Bagaimana seorang mentor bernama Moeslim Abdurrahman bisa mendorong anak-anak muda kala itu untuk studi ke berbagai belahan dunia, sampai memperoleh gelar doktor.


Bagaimana dari rahim kultural tersebut, bisa melahirkan banyak tokoh-tokoh baru, yang kini menjadi nilai tawar tersendiri, tidak saja bagi Muhammadiyah namun juga bangsa Indonesia secara umum.


Gelombang tersebut menciptakan letupan-letupan semangat bagi kader-kader muda berikutnya, terutama bagi kader IMM maupun IPM.


Itulah kenapa forum JIMM selalu menggairahkan, bernas, dan menyulutkan persepsi-persepsi yang menantang. Disatu sisi melahirkan kritik-kritik yang menohok, disisi lain memunculkan harapan yang besar.


Berjumpa dengan orang-orang yang memiliki ikhtiar dan komitmen yang tinggi, dengan resiko yang tak mudah, terutama ketika awal pendiriannya, yang kerap disalah pahami.


Setelah tadarus ini, sepertinya muncul kembali energi baru. Terutama energi untuk membaca kembali buku-buku "berat". Juga energi untuk menulis sesuatu yang lebih berbobot ; penuh data, referensi, dan gagasan progresif. Insyaallah.


Blitar, 27 Mei 2018
Ahmad Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak