Sejak pidato "2030 Indonesia bubar" dan puisi "Ibu Indonesia", novel dan puisi jadi semacam bahan tertawaan. Meski sebenarnya bukan novel dan puisinya, namun orang yang mempergunakannya. Lalu bagaimana ketika Rocky Gerung menyebut bahwa kitab suci adalah fiksi?
Tentu banyak yang berkeberatan jika fiksi selalu identik dengan kebohongan, palsu, tidak ilmiah, rekayasa, dlsb.
Ketika membaca cerpen, kita sadar bahwa itu karangan. Rocky bermaksud menjelaskan bahwa fiksi bukan berarti bohong, palsu, omong kosong dan sebagainya. Makanya ia membedakan istilah fiksi dan fiktif.
Sebuah novel, sekalipun diangkat dari kisah nyata seperti Laskar Pelangi dan Negeri 5 Menara, toh tetap masuk karya fiksi. Sementara istilah non fiksi, diidentikkan dengan berita, esai, jurnal ilmiah, dsj.
Tentu jangan diartikan pula ketika kitab suci disebut fiksi, maka langsung menganggap itu sebuah kebohongan, kepalsuan, dan semacamnya.
Dalam kitab suci ada "puisi", ada kalimat demi kalimat yang perlu ditafsiri. Ada cerita, narasi tentang yang sudah berlalu, atau yang belum terjadi seperti surga neraka. Ada petuah langsung dan tak langsung, sebagaimana pengarang mencoba menyelipkan amanat dalam novel yang dikarangannya.
Dalam karya fiksi, ada nalar yang diasah, ada imaji, dan ada nilai etis yang dibentuk.
Jadi, selamat buat Rocky Gerung yang telah berhasil mengorek kedangkalan sebagian orang, yang masih menganggap karya fiksi sebagai suatu khayalan semata.
Bahwa orang perlu tahu kalau novel yang bagus pun butuh riset, kajian lintas literatur, wawancara kepada yang ahli, sampai kontemplasi tingkat tinggi. Bukan sekedar mengarang seenak hati.
Sudah saatnya kita menghargai karya fiksi, sudah saatnya kita perlu menghargai nalar dan imajinasi. Sudah saatnya kita menghidupkan "rasa", di tengah masyarakat yang hanya mengandalkan emosi, dan kehilangan sensitifitasnya. []
Blitar, 11 April 2018
Ahmad Fahrizal Aziz