Bertemu Alm. Nenek Sebelum Meninggal

Nenek saya lima bersaudara, 2 diantaranya perempuan, anak pertama dan keempat.


Lahir pada masa sebelum kemerdekaan, dengan situasi yang mungkin serba sulit dan tertekan. Karenanya, dibanding dengan saudara laki-lakinya, nenek sangat dekat dengan saudara perempuannya.


Karena itupula, anak perempuan nenek (Ibu saya), juga sangat dekat dengan anak perempuan saudaranya. Ibu saya adalah anak perempuan satu-satunya, dari tujuh bersaudara, yang pendidikannya paling tinggi, yaitu lulusan SMK.


Tidak seperti saudara laki-lakinya, yang bahkan belum lulus SD sudah memilih bekerja.


Padahal, biasanya lelaki yang sekolah tinggi, karena nanti menjadi kepala keluarga. Perempuan, katanya hanya jadi konco wingking ; masak, berhias, dan melahirkan.


Namun lucunya, Ibu saya justru paling tinggi pendidikannya, paling ngotot untuk terus sekolah, meski harus indekos ke kota. Sekolah Ibu dibiayai oleh kakak-kakaknya.


***
Memang banyak cerita tentang kedekatan nenek dan kakak perempuannya, namun saya tidak hafal persis. Yang saya ingat, sambutan mbokde--begitu saya memanggilnya--sangat hangat ketika kami mampir ke rumahnya.


Suguhan kopi hitam yang disangrai sendiri, juga beberapa makanan ringan di toko kecilnya, yang bisa saya ambil tanpa harus membayar.


Rumah mbokde memang strategis. Tepat dipinggir jalan menuju arah pantai serang. Tidak seperti rumah nenek saya yang harus masuk beberapa kilometer ke dalam, dengan jalanan yang dulu masih berbatu.


Karenanya, mbokde membuka warung kecil, menjual sembako dan kebutuhan dapur. Sementara nenek memilih berkebun. Rumah nenek sangat asri, dikelilingi kebun. Tanahnya juga luas, andai di daerah perkotaan, bisa dibangun sekolah.


Nenek sebenarnya tidak selalu punya uang, meski ketika saya datang selalu memberi uang kertas lima ratus rupiah, gambar monyet. Katanya buat beli permen. Waktu itu uang limaratus rupiah masih bertaji. Bisa buat beli nasi pecel.


Kenapa tidak selalu punya uang? Karena kebutuhan orang desa, terutama yang memiliki kebun, biasanya sudah terpenuhi. Sayur sudah ada. Buah sudah ada. Cabai, kelapa, dan segala macamnya.


Tiap kali mengunjungi saya ke rumah, nenek hampir selalu membawakan oleh-oleh, satu plastik besar. Dari rumahnya, naik angkutan desa, nenek biasanya mampir di pasar Lodoyo, untuk belanja. Mulai dari makanan ringan sampai mainan. Satu plastik besar penuh, dipanggul.


Hal itu selalu terkenang bagi saya.


Meskipun, ingatan tentang nenek tidak begitu banyak, karena nenek meninggal ketika saya masih kelas 5 SD. Ketika pada suatu sore, saya sedang bermain kartu dengan adik dan kakak keponakan, lalu datang informasi kalau nenek meninggal.


Nenek mendahului mbokde, saudara perempuannya. Nenek meninggal diusia 63 tahun. Makamnya bersebelahan dengan kakek, yang meninggal sebelum saya lahir, ketika Ibu saya masih sekolah.


Reflek! Ketika mendengar lagunya Banda Neira "Sampai jadi debu". Pada lirik "sampai kita tua, sampai jadi debu, ku di liang yang satu, ku di sebelahmu". Saya jadi ingat makam kakek dan nenek yang bersebelahan. Simbol keutuhan sampai akhir hayat.


***
Mbokde berusia lebih lama. Beberapa tahun setelah nenek meninggal, kami masih sering berkunjung ke rumahnya. Mbokde berpostur pendek, kecil, tapi ethes. Kata orang, awet sehat.


Tidak pernah ada riwayat penyakit fisik, bahkan sampai akhir hayatnya. Mbokde hanya terserang pikun akut, sampai tak lagi bisa mengenali orang-orang, termasuk saya. Tiap kali saya bertemu dan menyalami, selalu berbisik dan menyebutkan kalau saya cucu dari saudara perempuannya.


Sepikun apapun, mungkin akan selalu ada hal penting yang sulit dilupakan, yang begitu membekas. Pikir saya waktu itu.


Sebelum meninggal bulan Februari 2018 lalu, mbokde tertawa terbahak-bahak di kamarnya, sambil menyebut nama nenek saya. Kata mbokde, nenek sedang berkunjung. Ternyata mbokde memang tidak lupa dengan saudaranya, atau mungkin memang ingatannya sempat pulih sebelum meninggal.


Tentu nenek tidak benar-benar berkunjung, karena nenek sudah meninggal belasan tahun silam. Namun dari beberapa artikel yang pernah saya baca, sebelum meninggal otak akan memutar ulang memori-memori penting. Karenanya kenapa, sebelum meninggal orang bisa ingat kalau masih punya hutang, atau menjadi sangat bijak ketika berwasiat.


Kedekatan mbokde dan nenek mungkin sangat terkenang di masa lalu, sehingga muncul halusinasi, sebelum akhirnya meninggal, menyusul adiknya yang sudah mendahului belasan tahun silam. []


Blitar, 20 April 2018
Ahmad Fahrizal Aziz


Ditulis selepas menjenguk menantu mbokde di rumah sakit

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak