Masalah yang menimpa keluarga pada awal 2010, sempat membuat saya berfikir untuk berhenti kuliah. Sebab di rumah, Ibu harus bekerja sendirian dan harus setidaknya membiayai kuliah saya dan sekolah adik. Waktu itu saya baru masuk semester II, masih wajib di Asrama dengan jadwal yang super padat, sehingga tidak bisa menyela aktivitas lain.
Terasa berat ketika menginjakkan kaki di stasiun suatu sore, dengan meninggalkan berbagai permasalahan di rumah, namun ya itu permintaan Ibu. Rasa tak enak hati kemudian muncul ketika minta kiriman setiap minggunya. Ya, kiriman dari orang tua biasanya mingguan. Jika diperhitungkan sebenarnya tidak banyak. Bahkan biaya kuliah saya cenderung murah. Tapi karena kondisi yang ada, semua jadi serba sulit.
Seminggu sekali saya dikirimi 100 ribu. Itu berarti sebulan 400 ribu. Dengan uang 400 ribu saya harus bisa hidup sebulan, di Kota Malang pula. 400 ribu itu juga untuk makan, ngeprint tugas, ngerental internet (karena belum punya laptop). Ajaib, bukan?
Seringkali karena uang cekak, beli nasi harus sekali sehari. Itu biasanya beli bungkusan dengan lauk ala kadarnya, namun nasi dibagi menjadi dua. Separuh dimakan pagi, separuh di makan siang. Malamnya, biasanya hanya beli roti sisir atau bubur kacang ijo yang buka 24 jam, dulu seporsi hanya 3.000.
Uang itu harus disisakan untuk pulang. Naik kereta 4000, jika naik bus 12.000 plus angkot 2.500. Karena uang ngepres, sering ketika di dalam kereta/bus, sama sekali tak memegang uang. Hanya bisa duduk termenung sampai stasiun/terminal, dan jika orang rumah tidak bisa dihubungi, harus jalan kaki.
Pernah jalan kaki dari stasiun Kota Blitar sampai Jembatan kademangan, dan baru dapat tumpangan. Tapi ini lumrah. Sejak Tsanawiyah saya biasa jalan kaki, apalagi waktu kelas XII, ketika harus pulang sore karena ada pendalaman.
Namun ternyata kebutuhan kuliah sangat banyak. Untuk tugas kuliah saja, misalkan jika ada observasi ke sekolah, harus naik angkot PP. Atau misalkan, ketika diwajibkan dosen membeli buku tertentu sebagai pegangan perkuliahan. Mau minta kiriman tambahan, rasanya tidak mungkin. Akhirnya berfikir bagaimana mendapatkan uang tambahan.
Tidak ada keahlian lain yang saya miliki waktu itu, selain menulis. Akhirnya saya melamar menjadi penulis konten. Satu tulisan antara 3-5 paragraf. Dan tahukan berapa bayarannya? 1.000 per tulisan. Sementara saya belum punya laptop.
Kala itu ada rental komputer murah, 1 jam hanya 1.500. Dalam satu jam saya harus bisa bikin setidaknya 5-10 tulisan. Sehingga harus bikin coretan pada kertas dulu, semacam kerangka, baru kemudian diketikkan. Karena tuntutan, maka harus beradu dengan waktu.
Selain itu saya juga menulis beberapa artikel dan esai di koran lokal/regional. Memang tidak ada honornya, namun tulisan tersebut bisa diajukan ke fakultas untuk dicairkan menjadi honor. Lumayan, 75.000 per tulisan.
Awal 2012 kemudian saya melamar ke Majalah Suara Akademika sebagai staf redaksi. Waktu itu untuk posisi staf redaksi hanya dicari 2 orang, sementara reporter ada 9 orang. Alhamdulilah saya masuk setelah melalui beberapa test ketat, termasuk test lapangan dan wawancara.
Majalah Suara Akademika adalah majalah yang dikelola Kemahasiswaan. Gajinya memang tak seberapa, namun peluang mendapatkan beasiswa cukup terbuka. Meski sejak semester awal saya rutin mendapatkan beasiswa DIPA, namun ternyata ada banyak beasiswa lain, yang bisa dimasuki jalur penulis.
Kesempatan lainnya misal, saya bisa wawancara dengan beberapa tokoh dan “pelesir” ke berbagai kota dengan biaya negara. Pernah juga beberapa kali mengikuti workshop dan berjumpa dengan banyak orang dari berbagai latar belakang. Hal yang tak mungkin bisa saya lakukan jika menggunakan dana pribadi, dari kantong yang selalu menipis.
Akhir tahun 2012 saya bisa membeli laptop (notebook) Axioo dengan harga paling terjangkau. Pikir saya, toh paling hanya digunakan untuk mengetik, atau maksimal menonton film. Jadi murah-murahan saja tak masalah.
Aktivitas menulis konten tetap berlanjut, meski tidak lagi produktif. Padahal harga artikel naik. Namun karena sibuk “mencari tambahan uang”, justru kuliah jadi sedikit terganggu. IP naik turun. Semester 2, yang sebenarnya masa tersulit, hampir semua mata kuliah dapat A, hanya satu yang dapat B+. Namun B+ itu ternyata tertinggi, karena yang lain dapat B.
Memang pada akhirnya saya menyadari, bahwa tidak bisa seperti mahasiswa normal lainnya, yang segala kebutuhan terpenuhi. Saya harus membagi waktu, termasuk untuk organisasi. Kebutuhan perut begitu mendesak, sebab itu kebutuhan pokok. Apalagi kuliah saya jurusan pendidikan. Secara normal, lulus menjadi guru, pegawai dan seterusnya, yang sebenarnya tak begitu saya minati.
Dalam kondisi yang serba terdesak, saya belajar bagaimana bertahan. Masa-masa yang cukup sulit, bahkan untuk sekedar diingat. []
Blitar, 18 Desember 2017
Ahmad Fahrizal Aziz
www.fahryzal.com
Tags:
cerpri