Apa batasan menista dan tidak menista agama?
Dua cuplikan video Joshua Suherman dan Ge Pamungkas, yang menyinggung soal agama atau perilaku orang beragama, memang patut disesalkan. Mungkin mereka tujukan itu sebagai kritik sosial, tentang sikap sebagian orang atas realitas politik yang terjadi. Namun tetap saja lebih baik tidak dilakukan.
Cuplikan video itu kemudian menjadi bukti pelaporan atas keduanya, soal penistaan agama. Tapi sebentar dulu? Apakah harus sejauh itu?
Jangan sampai kemudian trend penistaan agama ini terus berlanjut pasca Basuki Tjahja Purnama (Ahok). Secara konten, apa yang dilakukan keduanya memang tidak etis dan berpotensi menyinggung. Apalagi, konten tersebut sangat mungkin dibantah. Misal soal artis terkenal yang karena faktor agama. Jelas ini keliru, dan Joshua mungkin hanya sekedar melempar gurauan.
Agnez Mo dikenal sampai sudut negeri, padahal dia non muslim. Di eropa, Anggun C. Sasmi yang seorang muslim juga dikenal luas dan menjadi penyanyi papan atas di negeri muslim minoritas. Beberapa ajang pencarian bakat yang menggunakan sistem voting, juga banyak dimenangkan oleh non Muslim, seperti Joy Tobing, Judika, Nowela, Christopher dll. Ya meskipun juga tak sedikit Muslim yang menang, seperti Ihsan Tarore, Virzha, Fatin Sidqia, Indah Nevertari, dan terakhir Sharla di TVKI.
Dalam konteks ini, Joshua sepertinya memang main-main, dan sepatutnya minta maaf atau mengakui kesalahannya, serta berjanji untuk tidak mengulangi. Tidak perlu sampai ke jalur hukum, apalagi di penjara. Sebab memaafkan jauh lebih mulia, ketimbang menghakimi.
Lalu bagaimana dengan Ge Pamungkas? Materi yang dibawakan Ge memang lebih sensitif dibandingkan Joshua. Lebih mengesalkan juga. Namun tetap dalam kerangka dialektis. Saat Jokowi baru menjabat Gubernur Jakarta, banjir besar—dan mungkin terbesar sepanjang sejarah—pun terjadi. Fenomena kait terkait juga terjadi saat 2004 SBY-JK baru dilantik menjadi Presiden dan Wakilnya, tsunami melanda Aceh.
Keterkaitan mistik tersebut justru biasanya dibantah sendiri oleh Umat Islam. Bahwa segala yang terjadi adalah kehendak Tuhan. Apakah sebagai azab atau cobaan, toh keduanya bisa dibenarkan. Azab bagi mereka yang berperilaku maksiat, dan cobaan bagi mereka yang berperilaku baik. Meski pada akhirnya penilaian sesungguhnya tetap di hadapan Tuhan.
Namun berkembangnya ilmu pengetahuan, membuat perdebatan irasional sebenarnya bisa diminimalisir. Apakah banjir di Jakarta itu salah Anies, Ahok, Jokowi atau gubernur sebelumnya? Dalam fikiran kita, seorang kepala daerah memang bisa lebih cepat menyelesaikan masalah, sebab ada banyak instrument yang bisa digunakan, terutama kebijakan publik.
Secara geografis, menganggap bahwa Jakarta bebas banjir adalah hal yang mustahil. Sebab itu keterkaitan dengan kota lain di sekitarnya, yang letak geografisnya lebih tinggi. Itu juga berkaitan dengan kenapa air yang jatuh di Bogor misalkan, bisa terus berlanjut sampai ke Jakarta?
Jika diukur dengan sains, pasti akan kelihatan problemnya. Hanya saja, bisakah pemerintah mengatasi, setelah titik-titik resapan air semakin berkurang tiap hari, sebab sudah ditanam beton-beton dari gedung-gedung yang tinggi menjulang, pusat perbelanjaan, plus ditambah dengan sampah yang menumpuk di sungai-sungai karena pola perilaku masyarakat.
Lawakan Ge disatu sisi ingin mengkritisi sikap orang beragama, namun disisi lain juga menciptakan ketidak dewasaan berfikir. Mending diarahkan ke hal-hal lain yang lebih mengajak masyarakat berfikir solutif, bukan saling menohok sisi sensitif yang berkaitan dengan cara beragama dan preferensi politik. Ge seharusnya juga minta maaf dan mengakui kesalahan. []
Blitar, 10 Januari 2018
Ahmad Fahrizal Aziz
www.fahryzal.com