Titik Mulainya Peradaban




Peradaban, atau kebudayaan yang besar, sebenarnya dibangun dari hal-hal kecil. Dimulai dari perubahan cara pandang dan perilaku, yang berimbas pada perubahan hidup secara bertahap. Misalkan, lingkungan yang bersih di suatu daerah, berawal dari kesadaran masing-masing individu tentang lingkungan ; buang sampah pada tempatnya, merawat tanaman, dsj.

Meski seringkali orang terjebak pada omong besar, yang mungkin bisa ia jalankan, namun belum tentu ditangkap secara jelas oleh orang lain. Misalkan, bagaimana cara menyelamatkan negara dari kapitalisme global. Orang mungkin akan menjelaskan soal konspirasi ekonomi, dominasi korporasi, dan lain sebagainya. Tapi sebagian lagi akan berfikir apa hal kecil yang bisa dilakukan?

Memimpikan sebuah peradaban yang maju juga begitu. Barangkali sudah ada panduan umum, misalkan bahwa masyarakat harus berilmu, penguasa harus adil dan ruang-ruang aktualisasi tersedia bagi siapapun yang hendak berekspresi. Namun praksisnya bagaimana? itu jadi hal mendasar yang perlu difikirkan.

Bagaimana ilmu-ilmu yang masih umum tersebut, atau masih melangit tersebut, bisa diperinci dan diterjemahkan secara kongkrit dalam bentuk aksi-aksi. Tidak harus aksi besar, bisa aksi yang kecil, namun berdampak pada perubahan yang bertahap.

Misalkan soal pemanasan Bumi yang kian meningkat, salah satu aksi kecilnya dengan menamam dan merawat pohon yang ada. Langkah besarnya bisa dengan membuat UU untuk mengurangi penggunaan AC di gedung-gedung perkantoran, dengan munculnya UU tersebut maka besar kemungkinan akan dikembangkan juga karya arsitektur yang ramah lingkungan, dalam jumlah massal.

Perubahan perilaku juga diawali dari perubahan cara pandang, itu bisa digali dari topik yang dibahas ketika berbincang santai, nongkrong di warung kopi, atau kongkow di rumah teman. Sayangnya kita sering meremehkan hal ini, dan menyebut mereka yang bicara gagasan, hanya segelintir mahluk omong kosong. Harusnya tidak begitu cara melihatnya.

Seringkali perbincangan santai justru terjebak pada ghibah, alias membicarakan keburukan orang lain. Pada level masyarakat manapun, nyatanya hal tersebut tidak bisa dihindari, sekalipun dalam lingkungan akademik, dan apalagi politik. Hanya berbeda kadar. Membicarakan orang lain, entah plus minusnya memang sangat sulit dihindari.

Topik perbincangan itulah yang menunjukkan seberapa tinggi peradaban sebuah bangsa, lebih kecil lagi sebuah daerah, lebih kecil lagi individu-individu tersebut. Apakah hanya membicarakan orang lain, peristiwa atau gagasan jangka panjang, kita bisa menilainya sendiri.

Ketika perbincangan santai membahas tentang gagasan, secara langsung atau tidak langsung, itu akan berdampak, minimal pada diri sendiri. Perubahan cara pandang, mindset, dan sejenisnya akan terjadi. Tidak ada yang sia-sia, tidak ada yang omong kosong, hanya kita saja yang selalu berfikir bahwa sebuah aksi itu kudu bombastis, terprogram, dan meriah.

Padahal, berharap hal-hal besar terjadi, tapi mengabaikan hal kecil, mengabaikan kualitas diri kita sendiri. Masa depan peradaban suatu bangsa, secara sederhana bisa dilihat dari kecenderungan masyarakatnya, apa topik perbincangan yang lebih mereka minati. Apa ide dan gagasan, apa hanya sekedar bullyan. []

Blitar, 13 Desember 2017
A Fahrizal Aziz
www.fahryzal.com

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak