Profesor Imam dan Berbagai Obrolan yang Belum Tertulis (2)



Saat wawancara, sebagaimana wartawan, saya sering kali mengajukan pertanyaan kritis, namun selalu dijawab santai dengan retorika yang baik.

Maklum, fikir saya, karena beliau adalah doktor bidang Sosiologi. Gaya bertuturnya pun khas seperti Kyai, yang llincah, humoris, nan sulit dibantah.

Misal, ketika saya mengajukan pertanyaan seputar pohon keilmuan yang selalu beliau banggakan, dan menjadi konsep pengembangan keilmuan di kampus. Akar dari pohon itu adalah Filsafat, bahasa, dan ilmu-ilmu dasar. Sementara batangnya Al Qur'an dan Al Hadits.

Kenapa Al Qur'an dan Sunnah tidak dijadikan akar? Itu berarti filsafat dan bahasa lebih penting?

Hal ini juga sempat menjadi pertanyaan banyak orang. Jika begitu maka UIN bisa melahirkan pemikir-pemikir liberal karena mendahululan logika/filsafat dalam mengkaji Al Qur'an dan Sunnah.

Lho? Kalau tidak bisa bahasa arab, kamu bisa baca Al Qur'an? Tanya beliau. Kalau tidak memahami landasan filosofis suatu ilmu, lalu bagaimana kamu mempelajarinya?

Ternyata jawabannya begitu sederhana. Filsafat dalam hal ini bukan untuk membredel Al Qur'an dan Sunnah, melainkan untuk mencari landasan filosofis suatu ilmu. Sementara ilmu, kata beliau, dibagi dalam tiga kelompok besar. Yaitu, sosial, sains, dan humaniora.

Dalam hidup, hal-hal filosofis menjadi sangat penting digali demi menemukan makna-makna. Apa, bagaimana, mengapa. Apa itu ilmu, bagaimana cara memperolehnya, dan untuk apa harus dikuasai/diciptakan?

Nah, dalam rangka mencari ketiganya tersebut, kita perlu membaca Al Qur'an dan Sunnah, sebagai petunjuk. Akan dijelaskan apa itu ilmu, apa saja jenisnya, bagaimana sampai mengapa diciptakan dan mengapa menusia harus mempelajari.

Menarik! Obrolan disela-sela wawancara tersebut seolah merangkum berbagai perkuliahan, atau proses keilmuan yang selama ini saya jalani, yang kadang berlangsung begitu saja.

Soal kemudian disinggung, kembali ke Al Qur'an dan Sunnah, sebenarnya ya tidak jauh berbeda. Kata beliau, konsep keilmuan di kampus ini ya sejalan dengan doktrin Muhammadiyah ruju' ila Qur'an wa Sunnah. Hanya konteksnya dalam hal Ilmu pengetahuan.

Meski kalimat "ruju' ila Qur'an wa Sunnah" terdengar nyaring dan renyah dibaca, namun penerapannya tidak mudah. Bahkan tak sedikit yang kemudian terjebak hanya mencomot terjemahan demi terjemahan, sehingga jadilah ia kaum tekstualis-skripturalis.

Sehingga HPT menjadi penting sebagai "alat bantu" memahami Al Qur'an dan Hadits, sebab tidak semua orang ahli dalam bidang tafsir Qur'an. Apalagi, menafsirkan Al Qur'an juga tidak cukup dengan metodologinya, tapi harus juga mempertimbangkan kajian lain. Buku-buku sosiologi dan sains juga bagian dari "alat bantu" tersebut.

Sepertinya memang sebagian konsep pengembangan keilmuan di kampus ini, disumbang oleh ideologi Muhammadiyah. Prof. Imam sendiri yang mengatakan demikian. Maklum, karena beliau lama bekerja di UMM, 20 tahun lebih. []

Blitar, 7 November 2017
Ahmad Fahrizal Aziz

Disarikan dari berbagai obrolan dengan Prof. Dr. Imam Suprayogo, mantan rektor UIN Malang.

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak