Tiap masuk
bulan september, diskusi tentang PKI selalu menyeruak. Jika selama orde baru
diskusi cenderung searah, sekarang ini peristiwa G30 S PKI mulai dikaji dari
beragam perspektif, meski ada beberapa yang masih resisten, sampai perlu kiranya
menggerakkan massa untuk membubarkan diskusi-diskusi diluar “tema besar”.
Bagi pelaku
sejarah, peristiwa itu tentu sangat traumatik dan sukar dilupakan. Setidaknya
itulah yang pernah diceritakan almarhum kakek, beserta orang-orang sepuh yang
bersinggungan langsung dengan PKI yang pada tahun itu, lari ke Blitar selatan
guna bersembunyi. Bahkan konon pemimpin PKI Jatim juga turut serta mengungsi ke
Blitar selatan.
Namun yang
perlu diingat, bahwa sebagai parpol, PKI tentu memanfaatkan kekuatan massa. Tak
bisa dibayangkan betapa banyak massa fanatik yang mendukungnya, sehingga bisa
menjadi partai terbesar ketiga pada pemilu 1955. Sebagian besar massa pendukung
PKI kala itu adalah masyarakat petani, pekerja kasar, yang jumlahnya sangatlah
banyak.
Sayangnya,
perspektif tentang G30 S PKI selama ini lebih banyak dilihat dari sudut pandang
pemerintah, sama persis dengan peristiwa pemberontakan PRRI Permesta. Padahal
mungkin saja ada perspektif dari sudut yang berbeda, yang perlu diketahui
generasi sekarang, agar lebih obyektif dan bisa belajar dari kesalahan dan
kegagalan masa lalu..
Ketika belajar
sejarah pemberontakan PKI waktu Aliyah dahulu, satu pertanyaan yang tidak
berani saya ajukan adalah, apa iya sekelas jenderal bisa diculik sebegitu
gampangnya? fikiran saya mungkin terlalu imajinatif, bahwa jenderal itu, kalau
diibaratkan film-film kerajaan zaman dahulu, adalah orang dengan keahlian atau
“kesaktian” berperang di atas rata-rata. Maka tidak mudah ditaklukkan.
Tapi
pertanyaan semacam itu tidak perlu diajukan, sebab akan sulit sekali mencari
jawabannya, apalagi sejarah yang berkembang sudah nyaris final, bahwa para
Jenderal tersebut memang diculik dan dihabisi di lubang buaya. Toh mereka juga
manusia biasa, dan hidup memang tak semenarik film laga atau film sejarah
kerajaan nusantara.
Tapi yang
sulit sekali dilakukan, adalah melupakan PKI. Buktinya isu tersebut terus
menerus digulirkan sebagai “senjata stigmatik”. Berbeda dengan peristiwa PRRI
Permesta yang dengan gampang dilupakan. Paradoksnya, dalam kontestasi politik
nasional, belum sekalipun partai berhaluan Islam atau berbasis massa Islam
menjadi pemenang. Sementara, partai nasionalis-demokratis, yang disatu sisi
begitu permisif dengan eks. Anak/keturunan PKI, bisa dua kali memenangkan
pemilu.
Artinya apa?
Bagi saya isu PKI lebih pada sentimen politik kekuasaan ketimbang kekhawatiran
tentang bangkitnya kembali ideologi, sebab negara berhaluan komunis-sosialis
sudah bertumbangan, Uni Soviet sudah bangkrut dan terpecah menjadi beberapa
negara. Mungkin tinggal Tiongkok yang saat ini masih bertahan, namun tidak
sepenuhnya juga disebut murni negara komunis.
Yang menjadi
problem besar ketika pola pikir generasi saat ini tidak mau beranjak dari masa
lalu, sehingga berperang dengan bayang-bayang ketimbang serius berkarya untuk
memajukan diri dan bangsa. Karena dilihat dari sudut apapun, sulit kiranya PKI
bisa bangkit lagi, bahkan kalaupun bangkit, semisal dalam bentuk kajian atau
diskusi massa, sulit untuk memiliki kekuasaan, sebab sudah dikunci oleh konstitusi.
Purbasangka
tersebut perlu kita hindari, apalagi hanya karena simbol-simbol yang bisa saja
dibuat oleh siapapun. Bahkan cuplikan film Soe Hok Gie, dimana ada kelompok
orang mengibarkan bendera PKI diatas truk, sempat dicuplik sebagai kebangkitan
ulang PKI. Padahal jelas itu merupakan salah satu segmen dalam sebuah film,
yang tentu hasil rekayasa.
Generasi saat
ini tidak pernah bersinggungan dengan PKI, apalagi mengenalnya. Barangkali tak
ada salahnya untuk belajar sejarah secara lebih kritis, namun jangan sampai
mewarisi dendam dan kebencian, karena itu bisa memicu konflik berkepanjangan.
Sejarahnya kita pelajari, yang lain-lain dilupakan saja, termasuk PKI yang
sudah terkubur dalam sejarah.
Blitar, 18
Sepetember 2017
Ahmad Fahrizal
Aziz
(Paguyuban
Srengenge Blitar)