Keterampilan Bercocok Tanam (2-habis)



Ketika belajar bercocok tanam, beberapa istilah asing harus juga saya pelajari ulang. Sebab saya tengah belajar untuk mengaplikasikannya, bukan untuk sekedar menjawab soal ujian. Seperti misalkan, ketika mendengar istilah arang sekam dan dolimit, sebagai campuran tanah agar tanaman bisa tumbuh dengan baik. Termasuk istilah “unsur hara”. Tanah yang baik untuk tanaman adalah yang mengandung unsur hara.

Ah, apa ini bagian dari teori kimia? Sayangnya nilai kimia saya dulu sangat parah. kalau istilah pupuk kandang dan kompos saya sedikit tahu. Apalagi jika sudah belajar soal kandungan pupuk cair, dan insektisida. Alamak. Saya baru paham bahwa para petani tradisional yang mungkin saja tingkat pendidikannya terbatas, sebenarnya kesehariannya bergelut juga dengan teori kimia dan biologi. Hanya dengan istilah yang lebih sederhana.

Begitu pun ketika ada pembudidaya tanaman yang tidak tahu bahwa bungkul itu adalah bunga kol. Saya sempat salah membedakan antara bunga kol dengan brokoli, sebab ketika membeli sayuran di pasar, penjualnya bilang kalau bungkul/bunga kol itu adalah brokoli. Padahal dari segi warna keduanya sangat berbeda. Hanya bentuknya saja yang sejenis, yang sama-sama ada batangnya. Harganya tentu lebih mahal brokoli, sebab merawat tanamannya juga lebih susah.

Kita lanjutkan yang tadi,

Karena saya bingung dengan campuran tanah agar tanaman bisa tumbuh dengan baik, saya mampir saja ke penjual bunga hias sekitaran rel antara pasar legi dan pasar templek Blitar. Disitu juga menjual pupuk kandang dan kompos yang sudah dikemas. Saya baca komposisinya, sudah sekaligus dilengkapi dengan tanah yang memiliki unsur hara. Entah bagaimana mengeceknya, saya juga tidak tahu, pokok yakin dan percaya saja.

Pupuk hasil beli itu saya gunakan untuk menanam bibit, dan juga menyemai benih. Pertama yang saya coba adalah benih cabai. Menurut teori, sebelum disemai, benih cabai yang diambil dari biji cabai tersebut, direndam dahulu dalam air hangat selama minimal 2 jam, atau dijemur dibawah matahari. Namun dalam prakteknya, ada juga yang langsung ditanam.

Tanahnya diupayakan halus, maka perlu diayak. Setelah itu dicampurkan dengan pupuk tersebut. Dengan mengucap bismillah, selang seminggu kemudian ternyata bisa tumbuh juga. Saya kira tidak tumbuh, sebab seminggu menunggu tentu terbilang lama. Bibit tersebut biarkan saja tumbuh agak panjang untuk kemudian dipindahkan satu per satu. Ketika menulis catatan ini, bibit cabai tersebut panjangnya masih 3-4 cm. Hanya saya lupa menghitung harinya.


(Eksperimen benih)

Tragisnya, tanaman yang lain, terutama sawi, daunnya bolong-bolong sebab dimakan hama berupa serangga kecil bewarna hitam, yang mirip dengan kutu. Padahal inti sawi yang dimakan ya daunnya itu. Tanaman tomat sudah menampakkan jabang buahnya yang masih kecil, begitupun dengan bunga kol. Untuk cabai sepertinya masih haus bersabar.



Sementara tanaman seledri sudah beberapa kali dipangkas. Untuk seledri saya pernah berkunjung ke kebunnya, di daerah Batu. Seledri yang di tanam dalam pot memang tidak bisa tumbuh panjang seperti ketika ditanam pada tanah. Kalau ditanam pada tanah tingginya bisa mencapai pinggul orang dewasa, kalau pada pot ya sampai setinggi lutut pun sudah lumayan.

Sulitnya menanam sayur kadang kala tidak berbanding dengan harganya yang murah. Padahal menanamnya butuh kesabaran dalam beberapa waktu. Merawatnya pun juga tidak mudah, apalagi yang diserang hama. Namun harganya terbilang murah. Tapi pembeli juga tidak mau membayar mahal. Serba repot. Karena itu mending beli daripada menamam sendiri, toh harganya murah. Namun jika begini, lantas siapa yang akhirnya rela menanam?

Sekarang untuk menanam bunga kol saja perlu beberapa bulan sampai berbuah. Untuk memproduksi bawang putih, dibutuhkan paling tidak 100 hari untuk dipanen. Mending kerja kantoran, beberapa bulan itu sudah gajian, dan gajinya bisa buat membeli sayuran yang harganya murah itu. Artinya ini soal perbandingan waktu, berapa bulan menunggu sampai panen, dan itu kadang kala juga rawan gagal panen karena satu atau dua hal. Sementara kalau bekerja di kantor, mendapatkan gaji bulanan. Ini soal kepastian pendapatan.

Sungguh, jika orientasinya adalah pendapatan, betapa sebenarnya terjadi kesenjangan yang tinggi, terutama soal kepastian ekonomi. Kecuali kalau memang ia adalah petani besar dan modern yang sudah memanfaatkan teknologi dan kecanggihan cara bercocok tanam, seperti misalkan dengan teknik hidroponik.

Mungkin dari hal sederhana ini terjawab kenapa banyak produk pertanian yang harus kita impor, yang harusnya bisa kita produksi sendiri. Mungkin karena banyak petani yang lelah bercocok tanam, sehingga menyarankan anak-anaknya untuk (jika tidak karena terpaksa) tidak usah menjadi petani.

Kenyataan semacam ini menunjukkan betapa tak berdayanya pendidikan kita. Bukan semata pendidikan formal, namun pendidikan non formal yang bersifat aplikatif. Betapa negara dengan lahan terbatas seperti Taiwan bisa menjadi eksportir, bahkan menjadi tujuan utama belajar ilmu pertanian, karena pendidikan dalam bidang itu yang lebih maju.

Tidak perlu yang skala besar, orang biasa seperti saya yang ingin bercocok tanam dengan sederhana saja masih sangat kesusahan. Bisa jadi karena saya yang malas menerima pelajaran waktu itu, bisa jadi juga karena pendidikan yang lebih berbasis pada kemampuan menjawab pada selembar kertas.

Maka betapa kagumnya saya melihat beberapa sekolah yang memiliki green house, juga kreatifitas lain seperti banyaknya tanaman di sekitar kelas, halaman, sampai kebun. Tentu teramat mulia ketika keterampilan tersebut tidak saja terhenti pada eksperimen biologi di kelas, tapi juga ikut mewarnai suasana rumah.

Bahwa orang tua melihat keberhasilan sekolah anaknya, terutama dalam bidang IPA, tidak saja dari nilai yang tertera di rapor per semester, namun juga (salah satunya) dari kemahiran bercocok tanam di sekitar rumah, atau merawat berbagai tanaman. Sehingga membuat suasana rumah lebih segar, dan lingkungan lebih terawat.

Melalui tulisan ini, saya sekaligus mengutarakan penyesalan pribadi kenapa dahulunya kurang rajin dalam bidang ini, sekaligus mengingatkan bahwa belajar itu adalah proses yang tiada henti.

Semoga bermanfaat.

Blitar, 16 September 2017
Ahmad Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak