Wawasan seputar lingkungan sudah lama saya dapatkan, terutama ketika membaca ulasan-ulasan seputar bahayanya sampah plastik bagi tanah. Sayangnya, kesadaran untuk berbuat belum sepenuhnya muncul. Baru belakangan, dalam skala rumahan, saya mencoba menerapkan kepedulian tersebut.
Pertama adalah memunguti sampah plastik yang berserakan, sampai yang sudah mengendap di tanah. Karena itu saya mulai belajar mencangkul dan “memainkan” celurit. Ternyata menggunakan celurit ada tekniknya tersendiri, ada cara menebas yang efektif. Seperti bermain bulu tangkis waktu hendak smash, begitulah cara menebas yang efektif. Kebetulan dahulu, sebelum mata terserang miopia, saya lumayan sering bermain bulu tangkis.
Namun betapapun upaya pribadi untuk memunguti sampah, tetap saja ada sampah berserakan. Karena selain keluarga, di rumah banyak sekali orang berdatangan setiap harinya, terutama yang ikut membantu bapak bekerja. Jadi karena kebiasaan, mereka membuang sampah begitu saja, terutama sampah plastik. Tragisnya, karena di samping rumah kami ada sungai, muncul juga beberapa titik pembuangan sampah, yang jika sampah tersebut menumpuk, tak jarang langsung dibuang ke sungai.
Satu titik sudah saya rubah menjadi gundukan tanah, sehingga orang akan berfikir ulang jika hendak membuang sampah disitu. Gundukan tanah tersebut kemudian saya tanami pohon kamboja dan jeruk. Sebelumnya saya tanami cabai dan sawi, tapi entah karena wawasan bercocok tanam yang minim, keduanya malah layu. Mungkin juga karena tanahnya yang tidak lagi berfungsi dengan baik, sebab sudah dirusak oleh sampah plastik.
Kenapa sampah plastik yang merusak? Sebab sampah lain seperti dedaunan, tidak berdampak buruk bagi tanah. Mungkin hanya terlihat tidak rapi saja kalau banyak daun berserakan. Sampah lain, seperti kulit buah, potongan sayur yang tidak dimasak dan sejenisnya, malah bisa dimanfaatkan untuk pupuk kompos. Daripada dibuang di tempat sampah dan menyisakan bau busuk, lebih baik dikubur dalam tanah.
Anda bisa bayangkan betapa besar potensi pupuk kompos di negara ini? besar sekali. Sayang kesadaran akan hal ini sangatlah minim. Malah kadang kala menumpuk dan membusuk di truk-truk sampah atau TPS. Padahal limbah sampah organik semacam itu banyak sekali kita temui di pasar-pasar. Dalam konteks ini, kita baru menyadari betapa pentingnya pendidikan lingkungan yang bersifat aplikatif semacam ini.
Yang lain juga, yang tentu sangat saya sesali, adalah keterampilan bercocok tanam. Ketika masih sekolah dahulu saya begitu alergi dengan pelajaran IPA, termasuk diantaranya Biologi. Terlebih lagi kimia dan fisika. Minat saya hanya menumpuk pada ilmu sosial, dan khususnya bahasa.
Entah pada kelas berapa, sekilas saya ingat pelajaran bercocok tanam. Tentang tambulampot, perkembangbiakan generatif dan vegetatif, cara penyemaian benih dan macamnya, termasuk aneka ragam tumbuhan dan perlakuannya. Ilmu-ilmu yang nyaris hilang sama sekali, setelah tidak lagi sekolah. Sehingga tiap kali melihat tanah kosong, selalu geregetan untuk menanami sesuatu, tentu yang tidak sekedar untuk pajangan, tapi yang bisa untuk dikonsumsi.
Saya kemudian cari buku-buku tentang hal tersebut, sebagian searching di internet, sebagian lagi mencari video di youtube. Era teknologi sangat membantu untuk belajar banyak hal. Bahwa lahan-lahan sempit bisa ditanami tumbuhan seperti cabai, tomat, atau sayur mayur. Sayangnya, untuk menyemai benih cabai saja saya selalu gagal. Pernah sekali mencoba, yang tumbuh malah gulma, alias tanaman liar.
Akhirnya saya beli bibit yang sudah berusia beberapa bulan. Mulai dari bibit cabai, tomat, sawi, bunga kol, dan seledri. Sambil membeli, sambil juga bertanya tentang ilmu bercocok tanam. Saya takjub dengan banyaknya bibit di tempat itu, mulai dari tanaman hias, buah dan tentu saja sayuran. Bahkan benih disemai dengan media serabut kelapa plus remahan kayu. Remahan kayu biasanya kita lihat dibiarkan begitu saja, atau di tumpuk dalam karung untuk kemudian dibakar. Ternyata bisa juga untuk menyemai benih.
Keterampilan bercocok tanam ini sepertinya perlu dipahami banyak orang, tidak saja para petani yang memang sebagai produsen besar karena harus mengelola tanah yang luas. Tapi dalam skala rumahan, dalam rangka merawat lingkungan. Mungkin cocoknya adalah tanaman hias, untuk menambah kesan estetis dan suasana yang lebih segar. Namun tak ada salahnya juga tanaman konsumtif, khususnya cabai, yang kadang harganya sangat melambung.
Blitar, 15 September 2017
Ahmad Fahrizal Aziz
Tags:
hobi