Di balik Film Penghianatan G30 S PKI


Arifin C. Noer, Sutradara film G 30 SPKI/Gestok adalah salah satu anggota teater Muslim. Itulah yang pernah ditulis oleh Ajip Rosidi dalam bukunya "Mengenang Hidup Orang lain" terbitan KPG. Namun yang dikenang Ajip dalam tulisan tersebut adalah Mohamad Diponegoro.

Teater Muslim pada masanya memang menjadi salah satu gerakan kebudayaan untuk mengurangi dominasi Lekra yang begitu kuat, karena (konon) didukung secara penuh oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Jadi sosok Arifin C. Noer, sejak awal mula masuk dunia seni drama, memang sudah bersinggungan sangat kuat dengan PKI.

Teater Muslim sendiri didirikan oleh Mohammad Diponegoro, seorang Muhammadiyah kelahiran Yogyakarta 28 Juni 1928. Ia pernah menjadi Wakil Pimred Majalah Suara Muhammadiyah, Majalah tertua yang masih eksis hingga saat ini.

Melihat fakta tersebut, semestinya kita tidak lekas menyatakan bahwa film tersebut adalah "film pesanan" rezim orde baru, sebab pembuatnya sudah bersinggungan sangat lama dengan ideologi PKI. Meski tidak menutup kemungkinan adanya kritik sejarah, terutama kritik secara akademik.

Nama Arifin dipilih konon juga atas rekomendasi G. Dwipayana ketika bertemu Goenawan Mohamad (GM). Dalam tulisannya di facebook beberapa waktu lalu, GM merekomendasikan dua nama sutradara terbaik kala itu, Teguh Karya dan Arifin C. Noer sendiri.

G. Dwipayana sendiri memiliki panggilan Pak Dipo, sehingga kadang orang salah paham, mengira Dipo (Dwipayana) adalah Mohamad Diponegoro pendiri Teater Muslim. Padahal keduanya adalah orang yang berbeda.

Apakah film tersebut masih relevan untuk ditonton? Mungkin tak ada salahnya, namun jangan lekas percaya. Sebab pada waktu itu, kajian seputar Gestok sangatlah terbatas. Apalagi rezim orba membatasinya sedemikian rupa. Baru era reformasi ini, kajian lebih diperluas dari sudut pandang yang berlawanan.

Film penghianatan G30/SPKI berdurasi hampir 4 jam, sementara film yang umum kita tonton di bioskop, paling maksimal kurang dari 3 jam. Bahkan ada yang hanya satu jam lebih sedikit. Itu menunjukkan jika film tersebut sangatlah kompleks.

Meski belum ada film tandingan, tapi setelah menonton film itu, tonton juga film "Senyap". Meskipun film tersebut sekedar wawancara dan sedikit ilustrasi tentang bagaimana negara memperlakukan eks. PKI atau yang dicurigai PKI dari sudut pandang korban.

Baiknya, diera keterbukaan semacam ini, mengkaji dua perspektif yang beragam sangatlah dianjurkan. Untuk kemudian menimang-nimang manakah yang sekiranya lebih realistis, agar tak terjebak pada pengkutuban sejarah. Wollohu'alam

Blitar, 2 Muharram 1439 H
Ahmad Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak