Tiap sehabis subuh saya harus ke warnet untuk "kerja". Bukan kerja jaga warnet, tapi memanfaatkan komputer dan jaringan internet untuk menulis konten. Kebetulan ada harga khusus sebelum jam delapan pagi.
Saya kuliah ya sambil kerja, tapi banyak orang tidak percaya. Fikirannya, kalau ke warnet itu pasti main-main dan menghabiskan uang.
Saya musti ke warnet sebab belum punya laptop. Itu berlangsung dari pertengahan 2011 sampai akhir 2012. Saya baru punya laptop bulan desember 2012. Laptop murah yang ala kadarnya.
Tapi ada banyak "pelajaran" selama ritual ke warnet sehabis subuh itu, dimana saya banyak mendengarkan diskusi-diskusi sastra yang diunggah ke youtube. Tidak hanya diskusi sastra, tapi juga filsafat dan politik.
Salah satu yang rajin mengunggah video diskusi itu adalah Komunitas Salihara. Durasinya pun panjang-panjang. Memang tidak semua diskusinya bertema sastra, ada yang bertema ideologi, budaya, film, dlsj.
Komunitas Salihara didirikan oleh--salah satunya--penyair Goenawan Mohamad (GM). GM bukan hanya seorang penyair, tapi juga Jurnalis dan bisa juga disebut pengusaha media, karena merupakan salah satu pendiri Tempo.
Selain GM, ada juga nama Ayu Utami, novelis perempuan ternama dalam "sastra wangi", juga Nirwan Dewanto, "penjaga gawang" rubrik cerpen Koran Tempo.
Diskusi-diskusi lain juga banyak bertebaran. Talk show sastra atau video-video singkat. Saat ini jumlahnya sudah bejibun. Salah satu yang rajin memposting diskusi-diskusi sastra juga adalah Alinea Tv. Dari situ saya banyak mendengarkan ceramah-ceramah Seno Gumira Ajidarma (SGA).
***
Majalah Tempo dan sederet media cetak lainnya memiliki rubrik yang asyik untuk dinikmati mereka yang tertarik karya sastra. Yaitu rubrik bahasa.
Penulisnya pun beragam, selain ada sastrawan, Jurnalis, akademisi, sampai praktisi bahasa. SGA, Sapardi Djoko Damono, Ajip Rosidi, Bandung Mawardi, termasuk yang sering menulis rubrik ini.
Tiap kali membaca Majalah Tempo, dua rubrik utama yang selalu saya baca, selain rubrik bahasa adalah rubrik catatan pinggir yang ditulis Goenawan Mohamad.
Rubrik bahasa merupakan bagian integral dari karya sastra. Dari rubrik ini pula hal-hal yang berkait dengan kebahasaan dibahas cukup kritis.
Sebenarnya kita sudah belajar bahasa sejak di bangku sekolah. Ada pelajaran wajib Bahasa Indonesia. Kita belajar beragam teori kebahasaan, sampai harus taat pembakuan kata. Sehingga benar salah dalam penggunaan bahasa, didasarkan pada teori yang sudah dibakukan.
Tapi rubrik bahasa mengkajinya secara lebih kritis. Entah mengkritik pembakuan, istilah-istilah yang umum digunakan, sampai memperkaya pemaknaan.
Menariknya, ketika Anies Baswedan menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, peran Dewan Bahasa yang selama ini salah satu tugasnya membakukan ejaan, sedikit bergeser menjadi kurator kosa kata. Dimana masyarakat umum bisa menyarankan kosa kata baru Bahasa Indonesia, yang sangat mungkin diserap dari bahasa daerah.
Untuk itulah ada kamus daring yang diperbaharui setiap saat. Kata yang mungkin saja belum baku, bisa diusulkan ke dewan bahasa untuk dikurasi menjadi bahasa baku.
Dengan begini, maka bahasa Indonesia akan semakin kaya. Akan banyak variasi diksi ketika membuat karya tulis. Kita pun bisa bereksperimen untuk memilah diksi baru ketika berbicara, atau membuat istilah-istilah.
Wadah paling cocok untuk bereksperimen adalah karya sastra. Kita patut menikmatinya. []
Blitar, 22 Juli 2017
Ahmad Fahrizal Aziz