Bagaimana mendapatkan banyak ide? Ini pertanyaan yang patut direnungi, sebab bukan bagaimana ide didapatkan, tapi dikelola menjadi tulisan, karena ide itu sesungguhnya berseliweran dimana-mana.
Ide bisa diotak-atik, tapi belum tentu kita punya selera untuk menuliskannya. Kalau ide itu serupa bahan untuk ditulis, tentu banyak sekali yang bisa ditulis, termasuk dari hal-hal sederhana.
Tapi tidak semua bahan yang ada mimicu selera kita untuk menuliskannya. Sama seperti memasak, sekalipun tersedia bahan lengkap untuk membuat donat di dapur, jika kita tak berselera, bahan itu akan tetap menjadi bagian-bagian yang terpisah.
Tapi ada juga yang berselera, tapi tak tahu bagaimana mengolahnya. Kalau dipaksakan, takut hasilnya kurang maksimal atau malah gagal total.
Permasalahan tersebutlah yang sebenarnya sering muncul, bukan karena kurang ide, tapi lebih disebabkan kurang selera dan kemampuan. Soal kemampuan menulis bisa dipelajari, tapi selera harus kembali ke masing-masing pribadi.
Kenapa wartawan bisa lancar saja menulis beberapa berita dalam sehari? Selain karena tuntutan pekerjaan, juga sudah tahu caranya, tahu pengolahannya. Jadi gampang saja.
Wartawan sudah punya ilmu nulis berita, ibarat masak sudah tahu cara mengolahnya menjadi makanan. Jadi, bahan-bahan yang didapat, bisa langsung diolah menjadi berita, tanpa perlu waktu lama.
Begitupun dengan cerpenis yang selalu eksis tiap pekan, terutama sabtu dan minggu. Tulisannya nangkring di sana sini, seolah menulis itu semudah meracik masakan. Lha kalau sudah bisa meracik, kan tinggal dikerjakan.
Ide menulis itu banyak. Kehidupan yang diberikan Tuhan ini adalah bahan-bahan menulis yang tak terkira jumlahnya. Tugas penulis adalah mengolah bahan-bahan tersebut, lalu menyajikannya dalam bentuk kata-kata.
Terserah kita mau meraciknya menjadi apa : puisi, cerpen, esai, berita, atau sekedar catatan bebas. Tapi bahan-bahan yang bejibun jumlahnya itu, toh akan lewat begitu saja, karena kita tak tahu bagaimana mengolahnya.
Misalkan, soal gagasan-gagasan kita, pengalaman hidup, perjumpaan dengan orang, kisah orang lain, sampai imajinasi liar kita, semuanya adalah bahan menulis. Ide yang bisa dikembangkan menjadi tulisan.
Hidup kita sendiri sebenarnya cukup berharga untuk ditulis. Pengalaman yang telah kita lalui, kesan setelah bertemu orang, sampai harapan dan mimpi-mimpi besar pun bisa kita tuliskan.
Tapi bagaimana cara menulisnya, bagaimana cara membuatnya cerpen, puisi, esai dan lain-lain? Inilah yang sebenarnya perlu dijawab.
Kalaupun akhirnya kita "memaksa" menuliskannya, masih ada perasaan takut jelek, banyak yang salah, takut dikritik, dsb. Perasaan semacam inilah yang membuat ide menjadi layu, gugur sebelum lahir menjadi "bayi".
Padahal tidak ada tulisan yang sekali lahir langsung bagus. Wartawan yang sudah nyaman dan lihai membuat berita, mungkin akan tercekat dan butuh waktu lebih lama, jika tiba-tiba diminta menulis cerpen. Begitupun sebaliknya, ketika cerpenis, prosais, atau penyair, mendadak harus menulis liputan khusus layaknya wartawan.
Bukan tidak bisa, tapi butuh waktu karena harus menyesuaikan. Ibaratnya, harus merubah cara memasaknya, mungkin juga perlu menambah bahan.
Jadi, ide itu sangat berkaitan dengan keinginan kita mau meraciknya menjadi apa. Mudah tidaknya tergantung kebiasaan. Yang menjadi soal jika tidak tahu mau diracik jadi apa.
Jika sudah bisa meracik, hal sederhana pun bisa menjadi tulisan, sebab ide itu dimana-mana. 20 detik terhenti di rambu lalu lintas pun bisa menjadi tulisan, melihat cara tetangga menggoreng kopi pun bisa jadi tulisan, ketemu pengamen berbadan kekar pun bisa menjadi tulisan.
Ide itu ada di sekitar kita, menanti untuk diracik jadi apa. Selamat meracik ide. []
4 Juli 2017
A Fahrizal Aziz