Sosial media sudah ada sejak dulu. Hanya saja baru dikenal luas ketika muncul ponsel pintar, mulai dari blackberry sampai android. Dua ikon sosmed yang dikenal, dan melekat pada ponsel adalah BBM dan Whatsapp, baru kemudian muncul instagram dan telegram.
Sosial media lain, semisal facebook, sudah terlebih dahulu muncul dan bisa diakses melalui PC. Sebelum itu, platfrom sosmed yang terkenal adalah friendster dan beberapa kanal chatting seperti mig33, wanawap, mocospace, myspace, plurk sampai Mirc.
Ponsel pintar membuat sosial media makin semarak. Terlebih ketika muncul beberapa aplikasi. Saya sendiri pernah menggunakan Path, BBM, dan Line. Ketiganya kemudian saya tinggalkan karena jarang dibuka. Sosmed yang paling awet adalah facebook, sejak tahun 2009.
Pernah sangat aktif sekali bersosmed antara tahun 2010-2012. Apa saja ditumpahkan. Kritik, keluh kesah, dan cerita pribadi. Mungkin itulah kegunaan sosmed waktu itu, sampai ada yang bilang sosmed tak ubahnya seperti tempat sampah.
Munculnya twitter kemudian memberikan suasana baru. Dengan karakter yang terbatas, twitter menekankan pada kekuatan kata, atau quotes. Bisa menggunakan hastag (#) untuk meramaikan trend yang tengah diperbicangkan.
Lalu, instagram pun juga memberikan nuansa baru, yang ditonjolkan adalah foto. Ada fitur edit foto otomatis, disertai dengan hastag. Meski demikian, facebook terus memperbaharui layanan, sehingga tetap bertahan. Berbeda dengan sosmed atau kanal lain yang akhirnya bangkrut karena kalah bersaing.
Kekuatan facebook pun makin tak terbendung setelah membeli saham Whatsapp dan Instagram. Fitur-fiturnya dibuat hampir serupa, namun masing-masing memiliki keunikan tersendiri.
Belakangan sosial media pun menjadi alat politik yang ampuh. Tidak saja bagi mereka yang punya kepentingan politik, tapi juga yang ingin berkomentar soal politik. Beberapa artikel anonim, yang tidak jelas penulisnya, berseliweran dimana-mana.
Suasana ini disisi lain menunjukkan kualitas pengguna sosmed tersebut. Beberapa penulis, atau pegiat literasi, yang awalnya hendak meninggalkan sosmed karena ingin fokus membuat tulisan yang lebih serius, banyak yang akhirnya kembali untuk bersosmed, memberikan alternatif ditengah maraknya budaya copy paste.
Penggiringan opini semakin mudah. Facebook, twitter dan whatsapp menjadi sosmed yang mendukung untuk melakukan penggiringan opini. Terutama bagi mereka yang mudah terbawa hoax, akan menjadi sasaran empuk.
Akhirnya, beranda sosmed penuh dengan pasar opini yang keruh. Satu tulisan bisa di forward oleh beberapa orang, bahkan status satir dan sinis kerap kali muncul dan sekilas begitu memuakkan.
Orang-orang yang bersosmed hanya berbekal jempol dengan asyik melakukan share, tanpa di filter oleh logika yang kritis. Emosi dan antipati dipertontonkan sedemikian rupa.
Pada akhirnya sosmed tidak saja media komunikasi, tapi telah menjadi arena perang terbuka. Bersenjatakan argumentasi, atau justru umpatan dan caci maki. Kualitas kita dipertaruhkan pada setiap hal yang kita posting.
Tentu suasana demikian teramat membosankan. Bagi yang tidak ingin terlibat, lebih baik memposting agenda pribadi. upload foto jalan-jalan, makanan, minuman, aktivitas, dll. Untuk apa mengurus politik yang menyita energi?
Suasana ini sungguh paradoks. Sosial media, pada akhirnya melahirkan individualitas yang akut. Padahal namanya sosial media. Namun bisa juga sebaliknya, bisa memunculkan kepedulian yang tanpa kontrol. Bentuk kepeduliannya, isu apapun dikomentari, meski dengan pemahaman yang terbatas. []
Blitar, 16 Mei 2017
A Fahrizal Aziz
Redaktur srengenge.id